Anakku, Kebanggaanku..
Menjadi anak sulung tentunya bukan pilihan. Tapi anak ini lahir di saat kami baru saja beranjak membangun rumah tangga: gaji pas-pasan, istri tidak bekerja karena hamil, dan ternyata banyak sekali kebutuhan hidup yang harus kami penuhi sehingga kami sering keteteran secara finansial. Itulah kondisi yang kami alami setelah menikah pertengahan Maret 2002.
Untuk mencukupi nutrisi bakal bayi ini saja, istri hanya mampu membeli vitamin agar kelak anaknya tidak stunting. Periksa kehamilan pun ke Puskesmas Kalimulya atau paling banter ke RSUD Cibinong. Tapi alhamdulillah, anak sulung kami lahir di Cianjur pada akhir Desember 2002 dalam keadaan sehat wal-afiat: tinggi 51cm dan berat 3,6Kg!
Sebagai rasa syukur atas anugerah terindah yang Allah karuniakan kepada kami, sejak istri hamil besar saya sudah berselancar di internet—maklum waktu itu saya hanya bisa internetan di kantor—untuk mencarikan nama yang memiliki filosofi bersyukur: jika pria dinamai Jamal, Witha atau Shaquilla dan jika perempuan dinamai Jamil, Hasna atau Syakilla. Karena anak kami laki-laki, maka saya mantap memilih nama Shaquilla yang berarti rupawan dalam padanan kata Arab.
Anak sulung kami, meskipun lahir dan besar di tengah kesederhanaan, tapi Inshaa Allah dapat merasakan limpahan kasih sayang yang sangat besar dari ibu-bapaknya. Saya dan istri selalu membersamainya kemanapun dia ingin pergi. Bahkan saya dan istri seringkali membawanya ke kantor pada hari Minggu di saat anak kami libur sekolah tetapi saya dan istri tetap harus masuk kerja.
Atas berkat rahmat Allah yang didorong oleh keinginan luhur untuk menjadikan anak kami lebih cemerlang dibanding orang tuanya, kami mulai menyekolahkan anak kami ke Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Dasar (SD) Pemuda Bangsa di Depok. Dan ternyata cukup membanggakan, anak kami selalu masuk siswa berperingkat atas di kelasnya.
Untuk masuk ke SMPN 3 Depok, yang saat itu cukup sulit karena berkategori favorit, anak saya bisa lolos. Selama bersekolah dia memiliki circle yang sangat baik: anak-anak berprestasi yang doyan belajar dan selalu bercita-cita tinggi untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Kami bangga dengan capaian anak kami. Kami support terus keinginan anak ini dengan mencarikan sekolah SMA yang favorit. Dan hasilnya kelihatan saat anak kami diterima di Prodi Budidaya Perikanan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur prestasi atau undangan. “Alhamdulillah,” gumam saya waktu itu.
Tapi itu rupanya belum memuaskan keinginan anak kami. Dia tetap minta daftar ke PTN-PTN favorit jurusan kedokteran yang terkenal sengit. Dan memang anak saya terpental dari PTN-PTN favoritnya, tetapi masih bersyukur karena bisa diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca juga: https://www.mohammadhasyim.com/2020/08/tahun-ajaran-baru.html#more
Saya bersyukur karena ini juga merupakan capaian luar biasa. Saya sendiri merasa bahwa belum tentu saya bisa masuk ke fakultas favorit macam kedokteran. Oleh sebab itulah ketika anak kami memilih untuk berkuliah di FK UIN, saya dukung penuh, sekalipun harus melepas kesempatan untuk berkuliah di IPB.
Saat mulai berkuliah di FK UIN, yang waktunya berbarengan dengan merebaknya pandemic Covid-19, anak saya agak kesulitan untuk belajar secara virtual. Tapi bukan hanya anak saya, mahasiswa/i lainnya pun kata anak saya sama kesulitan memahami materi yang diajarkan melalui online.
Semester I dan II agak anjlok nilainya, tetapi perlahan namun pasti setelah pembatasan sosial mulai dilonggarkan anak kami bisa mengejar ketertinggalanya. Meskipun tidak bagus-bagus amat, tetapi apa yang dicapai oleh anak kami cukup membanggakan. Dia selesai studi kedokteran dalam waktu 4 tahun dan bisa menyabet gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked).
Satu tahap sudah selesai. Titel S.Ked sudah di tangan. Saatnya anak kami melanjutkan perjuangannya untuk meraih gelar dokter (dr.). Maka untuk sekitar 2 tahun ke depan dia harus menjalani pendidikan profesi Co-Ass sebanyak 18 stase. Memang melelahkan, tapi inshaa Allah dengan effort yang sudah dibuktikan sebelumnya kami yakin anak kami bisa mewujudkan mimpinya menjadi dokter.
Dan sebelum lanjut Co-Ass, tentu saja anak kami harus menikmati dulu hasil belajarnya dengan mengikuti prosesi wisuda S.Ked. Momen ini tentu sangat bersejarah bagi anak kami karena dia sudah bisa melampaui satu fase penting dari cita-citanya, dan juga bagi kami karena sudah berhasil mengantarkan anak sulung kami menjadi sarjana.
“Semangat kak, jalan hidup ke depan akan lebih menanjak dan menantang, tapi papah dan mamah akan selalu mendukung kamu!”
Sekian, wassalam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar