“Mengenali Gejala Datangnya Covid-19”
Hari itu, Selasa 8 Februari 2022, badan saya mendadak agak menggigil. Tapi mungkin itu wajar, sebab dari pagi hingga siang hujan tak henti mengguyur wilayah Jabodetabek. Jadi saya lantas berpikir karena cuaca mendung maka badan saya menjadi kedinginan. Dikenakanlah jaket untuk menahan rasa dingin.
Rupanya selama beraktivitas di dalam kantor, bukan hanya perasaan dingin yang menjalar. Kepala pun mulai kleyengan. Tapi lagi-lagi gejala itu pun saya tepis karena merasa wajar saja akibat cuaca tidak bersahabat maka badan pun jadi kurang enak.
Tibalah saatnya melakukan test PCR atau pemeriksaan lab untuk mendeteksi adanya material Covid-19 di tubuh saya. Maklum keesokan harinya saya harus ikut kunjungan kerja ke Padang, Sumatera Barat. Test PCR diperlukan sebagai prasyarat untuk melakukan perjalanan melalui udara selama masa pandemi Covid-19.
Saat di-swab atau dites usap, baik melalui lubang hidung maupun tenggorokan, saya tidak merasakan gejala apa-apa. Sama saja seperti test PCR sebelumnya. Maka tanpa ragu saya yakinkan pada perawat yang mengambil sample swab saya untuk mengirim hasil test-nya menjelang tengah malam karena test PCR bisa dipakai 3x24 jam sehingga saat pulang ke Jakarta saya tidak perlu di test PCR lagi.
Setelah di-test PCR, saya melanjutkan pekerjaan. Saya menyelesaikan tugas menyusun naskah hingga sore hari. Menjelang Maghrib, saya berangkat ke kawasan Serpong Tangerang Banten untuk mengikuti agenda Diskusi Kelompok Terarah (FGD).
Selepas Maghrib atau menjelang dimulainya acara FGD, handphone saya berbunyi. Kawan saya yang akan ikut berangkat ke Padang mengabarkan bahwa hasil test PCR dia positif Covid-19. Saya sempat kaget, tapi berusaha menenangkan. Dan dia pun akhirnya menitipkan pekerjaannya untuk di-handle oleh saya. Saya menyanggupi dan mendoakan dia agar lekas sembuh.
Menjelang tengah malam, handphone saya bunyi lagi. Kawan yang tadi mengabarkan lagi bahwa hasil test PCR hari itu sudah keluar seluruhnya dan hasilnya empat orang terkonfirmasi Covid-19, termasuk saya!
“Innalillahi..” batin saya. Saya masih belum bisa berpikir karena keburu panik antara memilih untuk meninggalkan acara FGD, menitipkan dulu pekerjaan di Padang kepada teman saya atau mengabari istri di rumah untuk menyiapkan kamar sebagai tempat isolasi mandiri (isoman). Semuanya saling berseliweran di kepala saya sehingga saya tidak tahu lagi mana yang harus segera saya lakukan.
Akhirnya senior saya menasihati saya untuk pulang. Pulang adalah jalan terbaik, selain untuk fokus meningkatkan imunitas tubuh dan melawan Covid-19 sambil isoman, juga untuk mencegah agar virus yang saya idap tidak menular ke orang lain. Saya pun pulang dengan perasaan kacau.
Di perjalanan, saya menelpon istri untuk menyiapkan kamar sebagai tempat isoman. Istri, meskipun sempat kaget, akhirnya mengiyakan. Dia merelakan kamar kami berdua dijadikan tempat isoman dan dia terpaksa mengungsi ke kamar anak-anak. Dari situlah saya mulai menjalani isoman.
Batuk Berdahak
Saya sempat tidak percaya bisa terkena Covid-19 karena saya sudah divaksin lengkap (vaksin pertama dan kedua), bahkan hingga vaksin ketiga (booster). Maka agak mengherankan juga kenapa setelah di-booster justru terkena Covid? Seorang teman memperkirakan saya terkena Omicron, varian baru Covid-19 yang terkenal sangat cepat menular.
Namun teman saya yang lain sempat menyarankan kepada saya untuk mencari second opinion ke lab yang lain. Tujuannya untuk memastikan apakah saya benar-benar terkena Covid-19 atau tidak. Karena buktinya saya hampir tanpa gejala. Tadinya saya ingin mencobanya, tapi setelah dipikir-pikir, buat apa?
Toh saya sudah pasti tidak harus ikut berangkat kunjungan ke Padang. Pekerjaaan saya di sana sudah ada yang handle. Dan bos di kantor juga tahu kalau saya kena Covid-19 dan harus isoman di rumah sampai mendapatkan hasil PCR yang negatif.
Akhirnya, ya sudahlah saya terima kenyataan bahwa saya sudah terkena Covid-19. Saya berusaha berlapang dada dan menikmati isoman di rumah. Beruntung juga tidak ada gejala berat sehingga saya bisa isoman tanpa merepotkan orang lain.
Kata istri, yang kebetulan bekerja di sebuah rumah sakit di wilayah Jakarta Selatan, gejala Covid-19 yang saya derita tidak terlampau berat. Alasannya, CT value atau jumlah virus yang ada di dalam tubuh saya tidak terlampau rendah yakni mendekati ambang batas 40. “Kalau jauh di bawah angka 40 pasti gejalanya parah,” kata istri saya.
Saya pun mencoba merasa-rasa gejala dalam tubuh akibat Covid-19. Ternyata setelah tubuh merasa menggigil dan kepala kleyengan, tidak ada lagi gejala yang dirasakan, kecuali batuk berdahak (maaf) berwarna cokelat.
Beruntungnya lagi saya diperiksa di lab yang terafiliasi ke Kemenkes atau yang terintegrasi dengan aplikasi PeduliLindungi. Maka, setelah dinyatakan positif Covid-19, datang pesan WA di handphone saya dari Kemenkes. Isinya panduan isoman, mulai dari cara melakukan telemedicine atau konsultasi gratis via aplikasi dengan mitra Kemenkes, sampai pemberian resep digital dan pengiriman obat-obatan selama isoman. Semuanya gratis.
Namanya gratis, sayang untuk dilewatkan. Saya pun melakukan telemedicine dengan dokter muda untuk menanyakan gejala yang saya rasakan. Rupanya menurut dokter itu gejala yang saya alami tergolong ringan dan diberilah resep digital untuk ditebus di apotik yang menjadi mitra Kemenkes. Tanpa kesulitan saya upload resep digital itu untuk kemudian dipaketkan ke rumah. Cukup simple. Hanya waktunya saja yang agak lama, yakni 2x24 jam. Mungkin karena banyak pasien Covid-19 yang sedang mengantri obat gratis.
Yang cukup mengesalkan selama isoman itu adalah rasa bosan. Bosan karena selama bebeberapa hari harus beraktivitas di dalam kamar. Mau berjemur di bawah sinar matahari juga susah karena kebetulan selama beberapa hari itu mendung terus. Akhirnya ya mengurung diri di kamar.
Selama isolasi, saya memang merasakan seperti terputus dengan keluarga di rumah. Ada anak, tapi tidak bisa memeluk. Ada istri tetapi tidak bisa tidur bersama. Tinggal satu rumah tetapi tidak ada kehangatan dan kebersamaan. Saya merasa terasing hidup di rumah sendiri.
Untuk membunuh sepi, sehari-hari saya isi dengan nonton televisi, kadang mengaji. Yang tidak pernah ketinggalan adalah ngoprek handphone: mulai dari menyapa teman, nimbrung di group WA padahal sebelumnya jarang berkomentar, sampai berselancar di berbagai platform medsos.
Seminggu kemudian, tibalah waktunya untuk test swab lagi. Sempat deg-degan karena terkonfirmasi positif itu ternyata sangat menjengkelkan, maka begitu diinfokan bahwa hasil swab saya negatif terasa sekali bahagia yang luar biasa. Alhamdulillah ya Allah.. Saya bisa hidup normal kembali. Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan, Amiin Ya Rabbal Alamin!***
GDC, 26 Feb 2022
MH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar