10 Juli 2021

PPKMDJB


PPKM Darurat yang Lebih Galak

Dalam rangka mengendalikan penyebaran Covid-19 yang terus melonjak, Pemerintah memutuskan untuk menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa dan Bali. Tidak tanggung-tanggung, PPKMDJB ini diterapkan selama 17 hari dari tanggal 3-20 Juli 2021, menggugurkan kebiasaan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, PPKM Mikro ataupun PPKM Makro yang lazimnya diterapkan selama 14 hari.

Tidak hanya waktunya yang lebih lama, penerapan PPKMDJB juga lebih ketat. Jika dalam pemeriksaan (check point) selama PSBB ataupun PPKM Mikro lebih pada physical distancing, artinya selama orang dalam satu mobil misalnya sudah memenuhi kriteria berjaga jarak maka bisa diloloskan.

        Nah, selama PPKMDJB ini, masyarakat sama sekali tidak diperkenankan keluar rumah alias diminta untuk tetap di rumah (stay at home). Sebenarnya kebijakan ini beda tipis dengan lockdown modelnya, tapi Pemerintah tidak punya kewajiban memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan hewan ternak sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Selama pelaksanaan PPKMDJB ini, petugas pemeriksa yang terdiri dari unsur kepolisian, TNI, Dishub dan Pol PP akan memeriksa masyarakat yang melintasi batas wilayah kota, karena check point didirikan di pintu keluar-masuk Jakarta dan kota-kota lainnya di Pulau Jawa dan Bali.

Untuk DKI Jakarta, yang telah didirikan sebanyak 100 check point, setiap orang yang masuk ke wilayah Ibukota ini akan ditanya apa keperluannya yang dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP). Bagi mereka yang tidak memiliki keperluan mendesak seperti tenaga Kesehatan (nakes), atau mereka yang tidak bekerja di sektor esensial dan kritikal, maka pilihannya adalah berputar balik!

Saking tegasnya petugas untuk menghalau mereka yang tidak memiliki keperluan penting ke Jakarta, sejumlah mobil panser dikerahkan di sejumlah perbatasan Ibukota, seperti di Jalan Lenteng Agung yang berbatasan antara wilayah Jakarta Selatan dan Kota Depok. Tak urung hal itu memaksa sejumlah warga yang tidak memiliki STRP dan kebutuhan mendesak ke Jakarta memilih balik kanan.

Bukan hanya itu. Penindakan terhadap pelanggar aturan PPKM juga diterapkan kepada perusahaan yang tetap mempekerjakan karyawannya yang bukan di sektor esensial dan kritikal. Ancaman denda hingga pencabutan izin usaha akan membayangi setiap tindakan terhadap pelanggaran PPKMDJB ini.

Potret pedagang kecil di pasar yang ditutup paksa oleh petugas dengan alasan menimbulkan keramaian, atau pedagang yang barang jualannya diangkut petugas atau diobrak-abrik, menjadi pemandangan keseharian selama pelaksanaan PPKMDJB ini.

Ujung-ujungnya tentu masyarakat kecillah yang paling terdampak. Mereka yang merupakan buruh harian atau yang menggantungkan hidup pada kerja harian untuk dimakan hari itu juga, tentu saja PPKMDJB ini sangat memberatkan. Sebab jika mereka tidak bekerja pada hari itu, atau mereka diam di rumah selama 17 hari pemberlakuan PPKMDJB, siapa yang menanggung biaya hidup mereka? Ini yang menjadi masalah.

Bahwa Pemerintah akan menggelontorkan dana bantuan sosial, baik berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako atau Bantuan Sosial Tunai (BST), tentu tidak akan semua masyarakat yang terdampak kebijakan PPKMDJB bakal memperoleh bantuan seperti itu? Ada banyak kriteria, ada banyak persyaratan dan yang pasti ada keterbatasan anggaran dari Pemerintah untuk menanggung bansos bagi mereka yang terdampak kebijakan PPKMDJB. Lantas???***

Tidak ada komentar: