Hikmah di Balik Pembatasan Sosial
Selalu ada hikmah di balik setiap musibah, dan selalu ada pelajaran dari setiap kejadian. Pandemi Covid-19 memang telah banyak menguras air mata dan memamerkan episode kesedihan yang tiada tara, karena banyak di antara kita yang kehilangan anggota keluarga tercinta, kehilangan lapangan kerja bahkan kehilangan hak hidup yang merdeka!
Akibat Covid-19, kebebasan masyarakat dibatasi. Masyarakat tidak lagi bisa bergerak sesuka hati. Dengan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, PPKM Makro hingga PPKM Darurat Jawa dan Bali, semakin ketat saja pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat.
Bayangkan saja, sejak wabah Covid-19 menjangkiti Indonesia sekitar Maret 2020 lalu, berarti sudah lebih dari satu tahun mobilitas dan aktivitas masyarakat dibatasi. Mereka yang tidak memiliki keperluan mendesak dilarang ke luar rumah. Kalaupun ke luar rumah harus menerapkan protokol kesehatan (prokes) yang ketat seperti mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas (5M).
Apalagi dengan kebijakan PPKM Darurat Jawa dan Bali yang berlaku 3-20 Juli 2021 ini, aktivitas dan mobilitas masyarakat benar-benar diawasi. Setiap akses dari dan menuju satu wilayah kota/kabupaten disekat dan diperiksa secara ketat oleh aparat kepolisian, TNI, Satpol PP dan Dishub. Jika bukan tenaga kesehatan (nakes) atau mereka yang bekerja di sektor esensial dan kritikal, maka akan diputar balik.
Tak heran jika Pemerintah senantiasa menggaungkan perlunya adaptasi kebiasan baru atau yang biasa dikenal dengan sebutan New Normal agar masyarakat dapat menerapkan pola hidup baru. Pola hidup yang mengutamakan aktivitas di dalam rumah atau stay at home. Sekolah dari rumah (pembelajaran jarak jauh/pjj), bekerja dari rumah (work from home/wfh) sampai aktivitas belanja pun diutamakan melalui transaksi on-line.
Pada awalnya saya pun merasa kesulitan untuk bekerja dari rumah. Karena tidak mudah untuk menemukan mood bekerja saat berada di tengah-tengah keluarga. Namun pembatasan sosial yang dimulai sejak Maret 2020 lalu, meskipun terkadang longgar dan sekarang diperketat lagi, rupanya perlahan-lahan telah menumbuhkan kebiasaan baru bagi saya untuk bisa bekerja dari rumah dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Salah satu upaya untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya adalah dengan mengaji. Sadar bahwa waktu di rumah sangat melimpah, dan sayang sekali jika hanya dimanfaatkan untuk sekadar berselancar atau beraktivitas di media sosial, maka keinginan untuk mengisi waktu dengan membaca ayat suci al-Qur’an perlahan tumbuh kembali.
Awalnya hanya mengaji seusai sholat subuh. Tetapi jika masih ada waktu luang, sehabis sholat dzuhur atau maghrib ternyata nikmat juga membaca al-Qur’an. Dan tanpa terasa, kebiasaan ini terus berjalan hingga pada pertengahan Juli 2021 ini saya baru menyadari bahwa saya sudah hampir menyelesaikan bacaan atau mengkhatamkan al-Qur’an! Subhanallah…
Memang ini bukan kali pertama saya berhasil mengkhatamkan al-Qur’an. Jauh sebelum beranjak remaja atau ketika masih di bangku sekolah dasar dan mengaji di sebuah tempat pengajian di daerah Jatayu, Kota Bandung, pun saya selalu mengikuti pengajian dan berkali-kali khatam al-Qur’an secara bersama-sama.
Bahkan di tempat tinggal sekarang di Depok pun, karena saya termasuk pengurus DKM yang biasa beraktivitas di masjid, setiap bulan Ramadhan selalu diadakan tadarus atau membaca al-Qur’an secara bersama-sama. Maka hampir setiap bulan Ramadhan jamaah pengajian berhasil khatam, meskipun kadang ada satu-dua surat yang terlewat karena kita tidak selalu hadir pada saat tadarus.
Tapi kalau yang ini lain lagi. Ini merupakan bacaan mengaji saya sendiri. Bukan bersama-sama. Tentu ini bukan kali pertama saya mengaji, tapi terus terang saja kalau untuk mengaji sendiri saya seringkali tidak tuntas atau tidak berhasil khatam karena kesibukan. Jeda waktu mengaji yang kadang terlalu lama membuat saya sering lupa sudah sampai ayat atau juz berapa terakhir kali saya mengaji. Walhasil, ngajinya pun diulang dari awal lagi.
Nah, berkat pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 ini, saya menjadi intens mengaji. Diawali saat umrah ke Tanah Suci bulan Februari 2020, saya mulai meniatkan diri untuk mengkhatamkan al-Qur’an. Dan begitu tiba ke Tanah Air ternyata tidak lama kemudian muncul pandemi yang diikuti kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret 2020, sehingga kesempatan untuk mengaji di rumah kian banyak.
Biasanya hanya seminggu sekali atau kalau malam Jum’at saja saya mengaji Surat Yaasin untuk almarhum bapak dan almarhumah ibu saya. Tetapi mungkin inilah hikmah dari Covid-19 karena pada saat pembatasan sosial seperti ini saya bisa mengaji lebih sering lagi. Bisa tiap hari. Dan alhamdulillah, meskipun cukup lama untuk ukuran mengaji sendiri, pada tanggal 17 Juli 2021 ini, saya berhasil menyelesaikan bacaan al-Qur’an saya mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Naas. Sebanyak 30 juz atau 114 surat berhasil saya lafalkan. Masyaa Allah…
Begitu kabar menggembirakan ini saya sampaikan kepada istri, ternyata istri menyambut baik dan siap menanakkan nasi kuning lazimnya syukuran saat ada anggota keluarga kami berulang tahun.
“Jangan,” kata saya sembari buru-buru menambahkan, “Kita pesan nasi kebuli saja!”
Istri setuju, dan anak-anak pun mau.
Setelah order dan diantar melalui aplikasi pesan-antar, tibalah nasi kebuli idaman itu ke rumah dan disajikan di meja makan.
Bismillahirrahmanirrahim... Hajjaarrrrr!!!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar