Lebaran Yang Tertunda
Peringatan Hari Raya Idul Fitri 1442 H/2021 M, seperti tahun sebelumnya, diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19. Maka tidak mengherankan apabila Pemerintah kembali menerapkan berbagai pembatasan, seperti larangan sholat Idul Fitri di wilayah-wilayah yang masuk ke dalam zona merah, melarang acara halal bihalal yang menimbulkan kerumunan, dan yang pasti melarang mudik alias pulang kampung!
Kebijakan terakhir sudah pasti memberatkan, khususnya bagi mereka yang sudah lebih dari setahun tidak pulang kampung akibat kebijakan serupa yang diterapkan tahun lalu. Tidak pulang kampung selama dua tahun berturut-turut adalah penderitaan bathin yang sangat menyiksa, sebab harus memendam kerinduan yang sudah memuncak untuk berlebaran bersama para sanak family di kampung halaman.
Sebenarnya bisa saja memaksakan diri mudik, dengan risiko harus berputar-putar mencari jalur alternatif, atau setidaknya memaksa dan berbohong kepada petugas pemeriksa di lapangan yang melaksanakan aturan Larangan Mudik Idul Fitri 1442 H/2021 M. Tapi, buat apa? Apa artinya kita berpuasa sebulan penuh, mengerjakan amal ibadah selama bulan Ramadhan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, tetapi pada akhirnya harus mendustai diri demi bisa mudik?
Maka, yang bisa disiasati adalah menunda pulang kampung barang beberapa minggu. Jika aturan Peniadaan Mudik pada Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 H ini berlaku mulai 6-17 Mei 2021, artinya mudik bisa dilaksanakan setelah tanggal tersebut, meskipun pada kenyataannya pengetatan perjalanan tetap dilanjutkan setelah Idul Fitri.
Dan, alhamdulillah, pulang kampung bisa dilaksanakan dalam dua tahap, tanpa melanggar aturan Pemerintah dan juga tidak harus berbohong kepada petugas di lapangan. Mudik dua tahap itu dilakukan pada seminggu setelah Idul Fitri ke keluarga istri di Cianjur dan dua minggu setelah Idul Fitri ke keluarga saya di Bandung. Jadilah lebaran tahun ini menjadi lebaran yang tertunda hehe..
Tapi, terlepas dari keberhasilan mensiasati mudik di tengah pengetatan perjalanan, tetap saja ada rasa sedih dan kehampaan yang dirasakan saat untuk tahun kedua kami tidak dapat menikmati kemeriahan lebaran di kampung halaman. Sejak malam takbir, yang dilakukan tidak lagi berkumpul bersama keluarga besar sambil bersenda gurau dan membiarkan anak-anak dengan para sepupunya bermain petasan di pekarangan rumah, tapi kembali lagi hanya bisa video call dengan keluarga di kampung halaman dan anak-anak anteng dengan gadget-nya masing-masing.
Yang agak mendingan, sholat Idul Fitri tahun ini dapat dilaksanakan di boulevard perumahan kami, meski dengan protokol kesehatan yang ketat. Dan setelah itu masih ada acara kunjungan terbatas ke tetangga-tetangga dekat, sekadar bersilaturahmi, memohon maaf lahir dan bathin, serta tak lupa membawakan sedikit makanan.
Setelah sholat Idul Fitri dan bersilaturahmi, kami masih bisa menikmati ketupat dan opor ayam—yang dibelikan istri agar tidak merepotkan—sehingga suasana lebaran masih dapat kami rasakan. Dan, ritual tahunan kami berikutnya setelah makan-makan adalah foto bersama. Cekrak-cekrek!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar