Wartawan Tempur Itu Sudah Berpulang…
Mengenakan kaos oblong—dengan ujung lengan digulung, bercelana jeans, topi dan sneakers bermerk kelas wahid merupakan gaya keseharian wartawan senior Almarhum H. Yayat Wiryadi saat liputan di lapangan. Gaya berpakaian seperti itu menjadi ciri khasnya selama puluhan tahun menggeluti dunia jurnalistik.
Rasanya tidak ada wartawan di Bandung angkatan 1990-an—bahkan mungkin sampai tahun 2000-an—yang tidak mengenali almarhum. Dia adalah wartawan tulen yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk dunia kewartawanan. “Aing mah da bisana ngan ngala berita wungkul,” selorohnya kepada saya, medio 1997 silam.
Mengenal almarhum pertama kali saat magang di Koran GALA Bandung pada tahun 1995, saya sempat terperanjat saat berkomunikasi dengannya: gaya bahasanya urakan, meledak-ledak dan gesture-nya seperti menantang berkelahi. Saya, yang baru saja menyodorkan diri untuk menjadi calon wartawan, sempat ciut juga memiliki Koordinator Liputan (Korlip) semacam almarhum.
Namun setelah cukup lama berinteraksi dengan almarhum, saya baru bisa merasakan kehangatan dan kemurahan hatinya. Almarhum memang memiliki karakter yang keras dan tegas, tetapi di balik itu almarhum adalah sosok yang humoris, supel, dan tidak pelit berbagi ilmu, juga uang.
Almarhum selalu mengajarkan untuk menjadi wartawan yang sigap, berani dan wajib mendapatkan info A1 alias valid. Tidak boleh sumir, apalagi bohong. Tugas dan tanggung jawab itu senantiasa dia tegaskan kepada seluruh wartawan agar berita yang dikabarkan kepada pembaca benar-benar cepat, tepat dan akurat.
Selama bergabung di Koran GALA, saya merasakan almarhum garang baik di ruang rapat maupun di lapangan. Di ruang rapat, sebagai Korlip almarhum tak segan memarahi wartawan yang tidak berhasil mendapatkan berita yang menarik. “Ari teu bisa neangan berita mah enggeus we tong jadi wartawan!” sengatnya.
Di lapangan, almarhum adalah sosok wartawan tempur. Dia gesit dan energik saat liputan. Dia pandai menguasai medan dan memiliki komunikasi yang baik dengan narasumber. Banyak media dari Jakarta yang kecolongan oleh berita hasil liputan almarhum sehingga mereka memilih untuk berkolaborasi dibanding berkompetisi dengan almarhum.
Almarhum memang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi wartawan. Almarhum banyak menginvestasikan uangnya untuk membeli perangkat kerja yang dapat menunjang kinerjanya. Dia beli pager, handphone dan handy talky—yang pada saat itu harganya masih sangat mahal—untuk mempercepat akses informasi dari narasumber sehingga leading dalam setiap liputan.
Terakhir saya berkomunikasi dengan almarhum sekitar 6 bulan lalu, saat Teh Moli istrinya mengabarkan bahwa almarhum terkena stroke dan dilarikan ke RS Immanuel Bandung. Saya tak menyangka karena almarhum rajin berolahraga dan hidup sehat dengan tidak merokok. Namun pada akhirnya saya harus percaya bahwa almarhum mengalami stroke setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri almarhum tak berdaya di atas tempat tidur dengan sebagian tubuhnya yang lunglai.
Selepas itu, saya masih sempat memantau kesehatannya melalui anak semata wayangnya, Agi. Namun hari Senin subuh 5 April 2021, sepotong pesan mengejutkan masuk ke group wartawan Bandung yang saya ikuti: "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.. Telah berpulang ke Rahmatullah rekan kita H. Yayat Wiryadi.."
Rupanya wartawan tempur itu sudah berpulang. Selamat jalan senior, inshaa Allah husnul khotimah! Amiin YRA..
Rasanya tidak ada wartawan di Bandung angkatan 1990-an—bahkan mungkin sampai tahun 2000-an—yang tidak mengenali almarhum. Dia adalah wartawan tulen yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk dunia kewartawanan. “Aing mah da bisana ngan ngala berita wungkul,” selorohnya kepada saya, medio 1997 silam.
Mengenal almarhum pertama kali saat magang di Koran GALA Bandung pada tahun 1995, saya sempat terperanjat saat berkomunikasi dengannya: gaya bahasanya urakan, meledak-ledak dan gesture-nya seperti menantang berkelahi. Saya, yang baru saja menyodorkan diri untuk menjadi calon wartawan, sempat ciut juga memiliki Koordinator Liputan (Korlip) semacam almarhum.
Namun setelah cukup lama berinteraksi dengan almarhum, saya baru bisa merasakan kehangatan dan kemurahan hatinya. Almarhum memang memiliki karakter yang keras dan tegas, tetapi di balik itu almarhum adalah sosok yang humoris, supel, dan tidak pelit berbagi ilmu, juga uang.
Almarhum selalu mengajarkan untuk menjadi wartawan yang sigap, berani dan wajib mendapatkan info A1 alias valid. Tidak boleh sumir, apalagi bohong. Tugas dan tanggung jawab itu senantiasa dia tegaskan kepada seluruh wartawan agar berita yang dikabarkan kepada pembaca benar-benar cepat, tepat dan akurat.
Selama bergabung di Koran GALA, saya merasakan almarhum garang baik di ruang rapat maupun di lapangan. Di ruang rapat, sebagai Korlip almarhum tak segan memarahi wartawan yang tidak berhasil mendapatkan berita yang menarik. “Ari teu bisa neangan berita mah enggeus we tong jadi wartawan!” sengatnya.
Di lapangan, almarhum adalah sosok wartawan tempur. Dia gesit dan energik saat liputan. Dia pandai menguasai medan dan memiliki komunikasi yang baik dengan narasumber. Banyak media dari Jakarta yang kecolongan oleh berita hasil liputan almarhum sehingga mereka memilih untuk berkolaborasi dibanding berkompetisi dengan almarhum.
Almarhum memang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi wartawan. Almarhum banyak menginvestasikan uangnya untuk membeli perangkat kerja yang dapat menunjang kinerjanya. Dia beli pager, handphone dan handy talky—yang pada saat itu harganya masih sangat mahal—untuk mempercepat akses informasi dari narasumber sehingga leading dalam setiap liputan.
Terakhir saya berkomunikasi dengan almarhum sekitar 6 bulan lalu, saat Teh Moli istrinya mengabarkan bahwa almarhum terkena stroke dan dilarikan ke RS Immanuel Bandung. Saya tak menyangka karena almarhum rajin berolahraga dan hidup sehat dengan tidak merokok. Namun pada akhirnya saya harus percaya bahwa almarhum mengalami stroke setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri almarhum tak berdaya di atas tempat tidur dengan sebagian tubuhnya yang lunglai.
Selepas itu, saya masih sempat memantau kesehatannya melalui anak semata wayangnya, Agi. Namun hari Senin subuh 5 April 2021, sepotong pesan mengejutkan masuk ke group wartawan Bandung yang saya ikuti: "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.. Telah berpulang ke Rahmatullah rekan kita H. Yayat Wiryadi.."
Rupanya wartawan tempur itu sudah berpulang. Selamat jalan senior, inshaa Allah husnul khotimah! Amiin YRA..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar