Selamat Jalan Uncle Ricky…
Senin 1 Februari 2021 Pukul 11.00 WIB. Saya bekerja dari rumah atau Work from Home sesuai dengan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah dalam rangka menekan angka penyebaran Covid-19. Kebijakan ini memaksa saya stay at home sambil memelototi layar handphone atau laptop untuk menangkap informasi dan berkomunikasi dalam mengerjakan tugas-tugas yang datang mendadak dari kantor.
Tiba-tiba handphone saya bunyi: bip-bip. Rupanya ada pesan WA masuk dari seorang sahabat:
“Mas, mohon do’anya, Pak Ricky (baca: almarhum Ricky Rachmadi) masuk rumah sakit dan kondisinya sudah gawat!” demikian pesan teks dari sahabat tadi.
Pikiran saya langsung melayang pada peristiwa 18 Oktober 2018 silam. Waktu itu Pak Ricky masuk RS Premier Bintaro, Tangsel, akibat jantungnya bengkak. Kebetulan waktu itu saya masih sempat bergegas menengoknya ke rumah sakit dan berbicara dengannya walaupun sebentar, karena diminta dokter untuk memberi waktu pasiennya beristirahat. Alhamdulillah, setelah dirawat beberapa hari kondisinya sehat kembali.
“Waduh, jangan-jangan jantungnya kambuh lagi,” gumam saya saat itu.
Segera saya balas pesan WA tadi dengan ucapan dan doa agar Pak Ricky bisa sehat dan beraktivitas seperti sediakala. Pesan serupa saya posting di beberapa group yang juga mengabarkan kondisi kesehatan Pak Ricky.
Selang beberapa menit kemudian, tersebar pesan ucapan duka cita atas kepergian almarhum Bapak Ricky Rachmadi, SH., MH. Pesan berantai yang disebarkan di beberapa WAG ini tentu saja membingungkan karena rasa kaget tentang kabar Pak Ricky sakit saja belum usai kini datang lagi kabar bahwa Pak Ricky sudah meninggal.
Saya segera mengontak lagi sahabat yang sedang berkomunikasi dengan keluarganya. Ternyata benar, Pak Ricky menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Premier Bintaro hari Senin 1 Februari 2021 sekitar Pukul 11.30 WIB. Innalillahi wa inna ilahi rajiun…
***
Awal perjumpaan saya dengan almarhum terjadi di Ruang Rapat Redaksi Harian Umum Suara Karya—koran legendaris yang didirikan oleh Golkar—sekitar tahun 2006 silam. Almarhum diperkenalkan oleh Pimpinan Umum Suara Karya waktu itu Drs. Theo L Sambuaga sebagai suksesor alias pengganti Pemimpin Redaksi sebelumnya, yakni H. Bambang Soesatyo, SE., MBA.
Sebagai Pemimpin Redaksi Suara Karya yang baru, almarhum menunjukkan etos kerja yang tinggi. Kepada tim redaksi Suara Karya, almarhum seringkali memberikan briefing dan mengajak diskusi panjang-lebar mengenai persoalan yang tengah menjadi topik pemberitaan. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan para awak redaksi, almarhum secara rutin menggelar diskusi di ruang rapat redaksi.
Berkat jejaring pertemanannya yang luas, almarhum berhasil menghadirkan sejumlah pejabat setingkat Menteri—baik yang masih aktif atau mantan—untuk menjadi narasumber dalam serial diskusi tersebut. Selain menjadikan materi diskusi lebih menarik, informasi yang disampaikan Menteri itu juga dijadikan topik pemberitaan Suara Karya esok harinya sehingga leading dibanding media cetak lainnya.
Itulah kekuatan almarhum. Almarhum pandai bergaul sehingga jaringan pertemanannya sangat luas dan multistrata. Berkali-kali tim redaksi mengalami kesulitan untuk meminta konfirmasi narasumber, namun berhasil diakses berkat lobby almarhum.
Selain itu, almarhum juga tahan bekerja hingga menjelang dinihari untuk me-nongkrongi hasil kerja tim redaksi. Tak jarang tim redaksi justru keteteran meladeni almarhum yang masih semangat berdiskusi sementara mereka sudah telanjur lelah dan merindukan tempat tidur di rumah.
Selama memimpin awak redaksi Suara Karya, almarhum dikenal cukup tegas. Tegas dalam arti berani memberikan reward kepada wartawan yang berprestasi tetapi juga menjatuhkan punishment kepada mereka yang melakukan wanprestasi. Almarhum selalu mengistilahkannya: “Saya akan memberikan stick and carrot.”
Almarhum juga peduli pada nasib wartawan. Selain rajin memberikan hadiah kepada wartawan yang sedang berulang tahun, almarhum juga aktif memperjuangkan nasib wartawan apabila hak-hak mereka terabaikan oleh Perusahaan. Sayang sampai koran Suara Karya berhenti terbit pada 2016, hak-hak mereka masih belum terbayarkan.
Di media sosial, almarhum cukup aktif membagikan aktivitas dan pergaulannya dengan para petinggi di negeri ini. Almarhum juga gemar membagikan aktivitas kulinernya. Di mata rekan sejawatnya, almarhum adalah sosok yang menyenangkan dengan sapaan yang khas: “Uncle Ricky.”
Terakhir saya berkomunikasi dengan almarhum pada 16 Januari 2021 lalu saat almarhum membagikan cerita pernikahannya yang genap berusia 27 tahun. Saya memberikan komen yang singkat tetapi memiliki pesan yang kuat, yakni mengucapkan syukur dan mendoakan almarhum beserta istri agar langgeng layaknya Habibie dan Ainun—merujuk pada kapasitasnya sebagai Anggota Dewan Pakar ICMI yang merupakan bentukan Habibie. Almarhum pun membalasnya dengan emoji ketawa dan jempol.
Rupanya itulah terakhir kalinya saya berinteraksi dengan almarhum. Selamat jalan Uncle Ricky, inshaa Allah husnul khotimah, amiinn YRA.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar