Tips Mudah dan Murah
Untuk Berhenti Merokok (2)
Saya dulunya adalah perokok. Perokok berat juga. Sehari minimal menghisap habis satu bungkus, kadang bisa lebih. Maklum wartawan, di mana tekanan dan tuntutan kerja sangat maksimal, sehingga perlu cara untuk melampiaskan diri dari himpitan kerja itu: salah satunya dengan merokok!
Apalagi news room atau ruang redaksi tempat saya bekerja adalah ruang merokok yang paling ramah bagi perokok. Semua awak redaksi dibebaskan untuk merokok. Padahal ruangan be-AC. Menjelang malam, ruang redaksi akan berubah menjadi lebih mirip kawasan puncak menjelang dinihari: berkabut. Tapi ya itu, merokok tetap jalan.
Lama kelamaan, saya merasa ada yang tidak beres dengan kebiasaan merokok ini. Saya seolah dikerjai terus oleh rokok. Akhirnya saya mulai memiliki niat untuk berhenti merokok. Pelan tapi pasti, saya mengumpulkan energi untuk berhenti, setelah sudah puluhan tahun menjadi “budak” rokok.
Sebagai wartawan yang terbiasa pulang ke rumah menjelang larut malam, saya merasa “grogi” saat masuk ke dalam rumah tetapi rokok di saku baju atau tas sudah hampir habis. Kebetulan saya memiliki kebiasaan, setelah tiba di rumah tidak langsung tidur tapi nonton televisi dulu sambil ngunyah kudapan dan yang pasti sembari menghisap asap rokok.
Menyadari rokok sudah hampir habis—atau tinggal satu-dua batang—saya sering merasa tidak “aman.” Jadi meskipun badan letih, ditambah lagi harus membuka kembali pintu gerbang rumah yang sudah terkunci, bahkan sudah pasti sulit mencari warung atau toko yang masih buka menjelang tengah malam, tetapi tetap saja saya keluar rumah untuk membeli rokok.
Sekali-dua kali, saya masih “rela” keluar rumah pas tengah malam untuk mencari rokok saat stok rokok di rumah hampir habis. Tetapi, lama-kelamaan, perasaan tidak rela muncul juga. Saya kok merasa “dijajah” oleh “kolonialisme rokok”, padahal penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan he-he-he..
Gara-gara rokok, saya merasa menderita karena harus keluyuran tengah malam di saat orang lain terlelap tidur. Saya juga malah membuang uang, yang sebetulnya bisa dihemat atau dimasukkan ke dalam celengan anak andai bisa melepaskan diri dari kebiasaan merokok.
Perasaan “diperbudak” oleh rokok dan menjadi “manusia bodoh” karena sudah tahu merokok merugikan tetapi tetap saja tak bisa lepas dari rokok membuat saya perlahan-demi-perlahan menguatkan niat untuk berhenti merokok.
Saya sadar bahwa untuk menghilangkan kebiasaan merokok secara langsung sangat sulit. Maka cara yang dilakukan adalah mengurangi dulu kuantitas rokok yang diisap, termasuk ketergantungan untuk menjalankan “ritual” malam hari sebelum tidur.
Jadi, meski stok rokok tinggal satu batang, saya tidak mau lagi memaksakan diri keluyuran tengah malam untuk membeli rokok. Kalau di saku tinggal satu batang, ya sudah satu batang itu saja yang diisap. Kalau rokok sudah habis dan perasaan ingin merokok masih kuat, saya tetap memaksakan diri untuk tidur.
Pertama kali memang sulit. Saking tidak relanya “berpisah” dengan rokok, saya sampai kesulitan untuk tidur atau sekadar memejamkan mata. Perasaan ingin merokok terus saja menggelayuti pikiran ini, meskipun sudah mencoba mengalihkan perhatian dengan masuk kamar tidur menemani istri dan anak. Kebetulan ruangan di kamar tidur ber-AC dan saya tidak berani merokok di dalam kamar.
Sempat tersiksa, namun berkat ruangan yang bebas asap rokok, kemudian dengan memandangi kedamaian di wajah anak dan istri yang sedang terlelap tidur, juga faktor kondisi fisik yang sudah lelah setelah bekerja seharian, akhirnya bisa juga tuh saya melewati malam tanpa rokok.
Setelah sekali berhasil, saya semakin yakin bahwa ketergantungan rokok seperti itu bisa diatasi. Makanya, ketika malam-malam berikutnya kehabisan stok rokok lagi, saya tidak begitu grogi. Saya yakin bahwa malam akan tetap berjalan dan saya juga akan terlelap tidur sekalipun tanpa merokok.
Faktor yang paling dirasakan sangat mengganggu adalah sugesti bahwa “merokok adalah kenikmatan yang tidak bisa dilewatkan saat menonton televisi sambil menunggu rasa kantuk.” Padahal, sekali lagi, itu hanyalah sugesti, sekadar ilusi atau mungkin juga halusinasi dari seorang perokok untuk mempertahankan kebiasaanya merokok.
Buktinya, jika bisa memberi sugesti balik bahwa tanpa rokok pun saya bisa tidur—dengan manfaat uang untuk beli rokok bisa dihemat dan juga mengurangi ancaman terhadap kesehatan—ternyata semuanya bisa berjalan lebih baik. Jadi, tidak ada lagi alasan untuk mengatakan “saya tidak bisa lepas dari rokok.”
Diperbudak Rokok
Perasaan tidak rela “diperbudak” oleh rokok adalah energi positif untuk balik memperbudak rokok. Rokok adalah objek yang kita beli dengan sekian ribu rupiah uang, sehingga kita berhak memperlakukan apapun terhadap rokok tersebut. Mau diremas, dipotong-potong atau di buang ke selokan. Itu semua adalah hak kita. Tapi tentu saja mubadzir kalau kita membeli rokok hanya untuk dibuang ke tong sampah he-he..
Maksudnya adalah jadikan rokok sebagai objek, bukan subjek. Jadilah Anda sebagai subjek yang baik, yang bisa mengendalikan objek semau Anda sendiri. Jangan pernah Anda dikendalikan oleh rokok, tetapi Anda harus bisa mengendalikan rokok. Jangan pernah Anda tergantung pada rokok, tetapi rokok yang tergantung pada Anda.
Kemampuan Anda menempatkan diri sebagai subyek, bukan objek, akan sangat menentukan saat Anda memiliki keinginan untuk mengurangi jumlah rokok yang diisap. Ketika Anda ingin mengurangi ketergantungan terhadap rokok, Anda bisa memanfaatkan otoritas Anda sebagai subyek untuk mengatur jumlah obyek.
Langkah pertama, buatlah target untuk mengurangi ketergantungan rokok Anda. Jika biasanya Anda menghabiskan satu bungkus rokok perhari @ 16 batang, berarti Anda memiliki beberapa opsi untuk mengurangi konsumsi rokok tersebut. Misalnya dengan mengurangi secara ekstrem separuh bungkus untuk pekan pertama dan pekan berikutnya habis alias berhenti merokok, bahkan lebih cepat lagi. Atau bisa juga menetapkan kebiasaan merokok hanya setelah makan. Bisa juga dengan mengurangi jumlah rokok per batang per pekan.
Intinya adalah memantapkan keinginan untuk berhenti merokok, dengan mengukuhkan otoritas Anda sebagai subjek dari rokok. Jika Anda berhasil mengurangi jumlah rokok yang diisap, berarti Anda sudah bisa menjadi subjek atas rokok, sekalipun itu belum menjadi jaminan bahwa Anda sudah bisa terbebas dari ketergantungan terhadap rokok.
Yang lebih dipentingkan di sini adalah Anda bisa balik mengendalikan rokok ketimbang Anda yang dikendalikan oleh rokok. Jangan dulu berhitung seberapa besar Anda bisa mengurangi rokok, karena esensi dari tahapan ini adalah Anda menyadari bukan “budak rokok” dan Anda bisa balik memperbudak rokok.
Setelah Anda berhasil mengendalikan rokok, tahap berikutnya adalah sebisa mungkin hindari pertemuan-pertemuan dengan teman-teman Anda yang merokok. Kalaupun Anda harus bertemu dengan teman-teman Anda, usahakan lokasinya bukan di tempat Anda dan kawan-kawan Anda biasa merokok atau mengepulkan asap rokok. Misalnya Anda bertemu di ruangan bebas asap rokok atau “no smoking area” atau pada aktivitas-aktivitas yang menyulitkan Anda untuk merokok.
Menyeleksi momen-momen pertemuan dengan teman-teman Anda tentu tidak gampang, sebab Anda dan teman-teman Anda biasanya memiliki kesamaan kebiasaan. Artinya jika teman-teman Anda merokok sedangkan Anda ingin berhenti merokok, akan terjadi kecanggungan dan ini tentu mengganggu hangatnya pertemanan. Karena itu, sangat disarankan jika Anda ingin berhenti merokok maka teman-teman Anda juga memiliki keinginan yang sama.
Tidak usah banyak-banyak, Anda sendiri dan seorang teman saja sudah cukup untuk membangun komunitas anti-rokok. Anda dan teman Anda itu bisa bersinergi untuk saling mengingatkan dan saling memberikan dukungan bahwa Anda berdua memiliki tujuan yang sama, yakni berhenti merokok. Kesamaan tujuan ini akan membantu Anda berdua untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan bergantung pada teman yang sama-sama memiliki keinginan untuk berhenti merokok, Anda bisa mengurangi pengaruh dari teman lain yang biasa merokok. Anda dan teman Anda yang ingin berhenti merokok juga bisa berkompetisi secara positif untuk memastikan siapa yang paling dulu berhenti merokok.
Selain itu, perhatikan juga aktivitas-aktivitas harian Anda. Jika Anda sekolah atau kuliah, dan kebiasaan merokok itu dilakukan saat bertemu teman-teman pada jam istirahat atau jam masuk-keluar kelas, usahakan hindari pertemuan seperti itu. Kalaupun Anda harus bertemu, cari teman yang tidak merokok. Dan kalau Anda terpaksa bertemu dengan teman yang merokok, Anda jangan langsung tergoda untuk merokok. Hidupkan lagi kesadaran bahwa Anda adalah subyek dan bukan subjek. Ini apabila Anda ditawari atau diajak merokok.
Begitu pula jika Anda bekerja di kantor. Pada jam kerja, biasanya Anda dilarang merokok karena ruangan kantor ber-AC. Ini akan membantu Anda mengurangi waktu ketergantungan Anda terhadap rokok. Sebagai kompensasinya, para karyawan yang merokok biasanya merokok pada saat jam istirahat atau ada pula yang mencuri waktu kerja untuk merokok.
Jika Anda menghadapi situasi seperti itu, Anda cukup beruntung sebab selama jam kerja berarti Anda tidak bisa merokok. Tantangan yang Anda hadapi adalah jam istirahat ataupun jam masuk/keluar kantor. Untuk jam istirahat, Anda bisa mensiasatinya dengan menghindari komunitas perokok. Misalnya makan siang di tempat makan yang ber-AC agar Anda tidak tergoda untuk merokok.
Sedangkan untuk waktu masuk atau keluar kantor, Anda pun bisa tetap menerapkan strategi menghindari komunitas perokok. Misalnya teman-teman Anda yang perokok biasa kongkow-kongkow dulu sambil merokok sebelum dan sesudah jam kantor. Anda bisa menyiasatinya dengan tidak berlama-lama bertemu mereka atau kalaupun bertemu cari tempat atau lingkungan kantor yang bebas asap rokok. Jadi Anda terhindar dari kemungkinan meneruskan kebiasaan merokok.
Juga saat di jalan, baik menuju kantor maupun kembali ke rumah. Jika Anda mengendarai sepeda motor, Anda lebih terbantu sebab rasanya sulit untuk bersepeda motor sambil merokok. Kalaupun dipaksakan, rasanya menjadi tidak enak dan justru sering terasa sakit di tenggorokan. Apalagi di jalanan seperti di Jabodetabek yang sarat polusi dan semrawut, sepertinya sulit untuk mengendarai sepeda motor sambil merokok.
Berbeda jika Anda menggunakan kendaraan umum, Anda biasanya dihadapkan pada waktu yang lama untuk menunggu datangnya angkutan umum. Waktu menjemukan ini biasanya dimanfaatkan oleh para perokok untuk merokok. Anda bisa mensiasatinya dengan mengunyah permen, atau mengalihkan perhatian dengan membaca koran maupun bermain games di handphone.
Pada saat menaiki kendaraan umum, usahakan Anda naik kendaraan yang ber-AC supaya Anda menghadapi larangan untuk merokok. Tapi, kalaupun harus menaiki angkutan umum yang tanpa AC, di mana para penumpangnya bebas mengepulkan asap rokok, Anda lebih baik mencari tempat duduk yang dekat dengan ibu-ibu atau wanita. Biasanya perokok akan sungkan untuk merokok di depan Ibu-ibu atau wanita, apalagi mereka yang alergi dengan asap rokok.
Hal yang sama bisa Anda lakukan jika Anda pulang-pergi ke kantor menggunakan mobil pribadi. Anda harus selalu menyalakan AC mobil agar Anda terhindar dari kebiasaan mengemudi sambil merokok. Kalaupun Anda tetap merokok—karena merasa kendaraan pribadi—kelak Anda akan mendapat ganjaran yang setimpal sebab AC menjadi cepat rusak dan merokok di mobil ber-AC pun memiliki daya rusak yang lebih dashyat terhadap kesehatan Anda!
Jika Anda bekerja di luar ruang kantor atau lapangan, tantangan Anda bertemu atau berinteraksi dengan komunitas perokok sangat besar. Kerja di luar ruang memungkinkan setiap orang untuk merokok sehingga akan menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang ingin berhenti merokok. Apalagi jika mereka selalu berada di tengah-tengah komunitas perokok.
Cara yang bisa disiasati adalah mempersempit pertemuan atau menyeleksi keberadaan Anda di tengah komunitas para perokok. Anda pun bisa menghidupkan kembali kesadaran bahwa Anda adalah subyek dan bukan objek dari rokok. Artinya, ketika Anda sudah memiliki keinginan untuk merokok, Anda jangan mudah “diperdayai” lagi oleh rokok untuk kembali menjadi perokok.
Anda bahkan bisa mencari teman yang memiliki keinginan yang sama dengan Anda, yakni berhenti merokok. Jika Anda bisa menemukan teman seperti itu—atau mempengaruhi teman yang merokok—berarti Anda tidak saja sudah menjadi subyek yang baik atas rokok tetapi juga menjadi pengkampanye yang andal dalam upaya menciptakan lingkungan bebas asap rokok.
Dengan memiliki—termasuk mempengaruhi—teman yang sama-sama ingin berhenti merokok, Anda akan memiliki kekuatan baru untuk benar-benar berhenti merokok. Model sinergi untuk saling mengingatkan jika salah satu di antara Anda kembali tergoda untuk merokok akan menjadikan energi positif dalam menanggulangi kecanduan rokok.
Anda juga bisa memanfaatkan teman yang sama-sama ingin berhenti merokok itu sebagai mitra tanding atau sparing partner dalam mengejar terget menjadi anti-rokok. Dengan menempatkan teman Anda sebagai mitra tanding yang baik, Anda tentu tidak ingin dikalahkan begitu saja oleh teman Anda. Oleh sebab itu, Anda tidak saja harus berhasil berhenti merokok, melainkan juga mewujudkan target itu dalam waktu singkat. Setidaknya lebih cepat dibanding teman Anda.
Strategi ini sangat cocok bagi mereka yang bekerja di luar ruang. Artinya, sekalipun rokok selama ini acap dijadikan “solusi” untuk mencairkan komunikasi dengan klien atau mitra kerja, tidak berarti pekerja di luar ruang tidak memiliki kesempatan untuk berhenti merokok. Siapa saja bisa berhenti merokok.
Asal, tentunya, keinginan berhenti merokok itu sudah bulat. Tidak peduli apakah mereka bekerja di ruang kantor atau luar kantor. Jika niat sudah kuat, sepertinya tidak akan ada yang bisa menghalangi. Bahwa bekerja di luar ruang lebih besar tantangannya dibanding mereka yang bekerja di dalam kantor, itu benar. Tetapi bahwa siapapun bisa melepaskan diri dari rokok, itu yang menjadi point-nya! (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar