Hari Raya Idul Fitri 1441 H/2020 M benar-benar sunyi. Tidak ada kemeriahan takbir yang digemakan dari dalam masjid atau musholla, serta kegembiraan anak-anak yang memukul bedug secara bertalu-talu—lazimnya suasana malam takbir yang selama bertahun-tahun kami nikmati di sebuah desa di Cianjur, Jawa Barat.
Malam takbir yang kami lalui dengan berdiam diri di sebuah rumah di bilangan Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu malam (23/5), terasa sepi. Tidak ada kebahagiaan yang meluap-luap layaknya malam takbiran. Tidak ada takbir, juga suara bedug. Adapun samar terdengar suara takbir, itu dari tempat yang nun jauh di sana.
Sekalinya membuka aplikasi teleconference untuk bertatap muka secara virtual dengan keluarga di kampung halaman, rasanya hambar. Sekadar menanyakan kabar dan saling berwasiat untuk sama-sama menjaga kesehatan. Itu saja. Di luar itu sudah kering. Dan anak-anak yang diajak video call pun malah asyik dengan gadget-nya masing-masing.
Malam takbiran tahun ini sungguh hampa. Tidak ada lagi kesibukan ibu mertua yang memasak ketupat dan opor ayam hingga larut malam. Atau petuah-petuah bijak dari bapak mertua yang biasanya disiramkan kepada anak-anak dan menantu-menantunya. Tidak ada lagi kehangatan dan keceriaan saat berkumpul bersama keluarga besar, sambil menyantap makanan dan mencicipi kudapan, serta melepas kerinduan dan berbagi pengalaman.
Keesokan harinya, kehampaan yang serupa terus berlanjut. Tidak ada sholat Ied, sebab setelah mengecek di group-group WA lingkungan rumah, tidak ada lokasi sholat Ied yang diizinkan oleh Pemerintah Kota Depok. Kalaupun ada lokasinya sangat jauh dan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 sehingga banyak jamaah yang harus pulang balik karena jemaah yang hadir sudah melebihi jumlah yang ditentukan.
Beruntung di rumah masih ada ketupat dan opor ayam. Itu pun dibelikan oleh istri dari temannya. Jadi masih ada sedikit rasa berlebaran. Kami pun berusaha menikmati ketupat dan opor ayam sekadar untuk menjaga kekhidmatan Idul Fitri dan mencoba menghadirkan lagi suasana lebaran yang hilang.
Selepas makan, sebagaimana yang biasa kami lakukan pada Lebaran tahun-tahun sebelumnya, kami berfoto bersama. Inilah moment yang masih bisa dipertahankan untuk mempererat hubungan emosional dan memperbanyak dokumentasi perjalanan kehidupan kami sekeluarga.
Selanjutnya yang bisa kami lakukan adalah bersua sebentar ke tetangga sebelah rumah sembari mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri dan meminta maaf atas salah dan dosa yang kami lakukan selama ini. Setelah itu, kami berdiam lagi di rumah—aktivitas yang mulai membosankan karena sudah kami lakukan selama lebih dari dua bulan.
Namun, kesunyian itu tetap kami jalani dengan iklhas. Tanpa kegembiraan yang diwarnai gelak tawa dan canda ria dari keluarga besar kami. Tanpa keceriaan anak-anak yang mendapat jatah “uang lebaran” dari kakek-nenek, tante-om dan uwak-uwaknya. Dan tanpa perjalanan spiritual yang rutin kami lakukan untuk menziarahi makam nenek di Cianjur, lanjut ke makam Ibu di Majalengka dan makam Bapak di Cirebon, serta bersilaturahmi ke saudara-saudara kandung di Bandung sekaligus berlibur. Sebuah perjalanan spiritual yang selalu melelahkan tetapi sangat menggairahkan!
Ya Allah, kami rindu berlebaran seperti dulu…
Grand Depok City, Minggu 24 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar