TUGAS KEMANUSIAAN
IFA sewot bukan kepalang. Berita televisi yang mengabarkan ada jenazah perawat yang ditolak warga saat akan dikuburkan, 10 April 2020, sontak menyulut emosinya. “Awas kalau warga yang nolak itu kena corona, kita juga bisa nolak merawat dia,” sungutnya seolah menahan dendam.
Dia mengaku tak habis pikir kenapa perawat RSUP dr. Kariadi Semarang yang meninggal akibat terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) itu ditolak jenazahnya. Padahal perawat itu meninggal akibat tertular oleh pasiennya yang mengidap Covid-19.
“Ini ibarat seorang tentara yang gugur di medan perang saat membela tanah airnya, kemudian jenazahnya ditolak untuk dikuburkan di kampung halamannya sendiri. Ini kan sangat menyedihkan,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Seharusnya, kata Ifa, warga yang menolak jenazah perawat dengan alasan takut tertular Covid-19 itu berterima kasih karena masih ada orang yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk melawan virus mematikan tersebut. Bagaimana jadinya jika tidak ada perawat yang mau menjadi garda terdepan dalam melawan Covid-19.
“Coba bayangkan kalau perawat tidak mau lagi menangani pasien yang terinfeksi Covid-19, siapa yang akan merawat dan menyembuhkan mereka? Memangnya mereka yang menolak jenazah perawat itu mau menanangani pasien Covid-19?!” tegas Ifa lagi sewot.
Ifa merasakan betapa sakitnya keluarga perawat yang meninggal akibat Covid-19 itu. Tugas kemanusiaan yang diemban seorang perawat, bahkan sampai harus mengorbankan jiwanya sekalipun, ternyata dibalas dengan perlakuan yang tidak manusiawi. “Itu sangat kejam!” cetusnya.
Sebagai anggota tim medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di wilayah Jakarta Selatan, Ifa merasakan betul betapa penanganan Covid-19 ini telah menyita banyak waktu, tenaga, pikirannya, bahkan sekaligus mempertaruhkan nyawanya.
Terus terang, kata dia, jika disuruh memilih apakah mau diam di rumah atau bekerja di rumah sakit, Ifa tegas memilih di rumah. “Ya diam di rumahlah biar aman, di rumah sakit kan risiko tinggi tertular Covid-19. Tapi ini kan panggilan tugas,” ujarnya memelas.
Tidak Adil
Ifa mencoba mengingat-ingat kapan virus corona mulai masuk ke Indonesia, persisnya ketika sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Wuhan, China, dipulangkan dan dikarantina selama dua pekan di Pulau Natuna, medio Februari 2020 lalu.
Perkiraannya waktu itu masalah corona akan selesai setelah para WNI yang dipulangkan dari Wuhan itu dinyatakan negatif alias tidak terpapar Covid-19. Tapi rupanya itulah awal dari pandemic Covid-19 di Indonesia.
Memasuki bulan Maret 2020 ancaman wabah Covid-19 kian nyata. Beberapa orang WNI terdeteksi positif Covid-19 dan sudah berinteraksi dengan banyak orang. Praktis jaring penularan Covid-19 semakin luas dan sulit ditelusuri.
Pada awalnya peringatan bahaya Covid-19 masih ditanggapi dengan guyonan dan meme-meme kocak yang berseliweran di media sosial. Pemerintah pun tidak buru-buru menutup pintu masuk dari dan ke luar Indonesia serta menghentikan pergerakan masyarakat yang menjadi pusat penyebaran Covid-19.
Puncaknya pertengahan Maret 2020 ketika Covid-19 benar-benar menjadi pandemik di tengah masyarakat. Jumlah warga yang terpapar Covid-19 perlahan tapi pasti terus merangkak dan mencapai angka ribuan orang.
Ifa sadar, sebagai bagian dari tim medis, dia harus berada di garda terdepan dalam “perang” melawan Covid-19. Dia pun masuk dalam Gugus Tugas Covid-19 di rumah sakit tempatnya bekerja, dan bertugas melakukan screening atau memilah pasien yang datang untuk dipisahkan antara yang memiliki dan tidak memiliki gejala Covid-19.
Tugas screening ini tidak ringan. Ibarat tentara di medan perang, dia mengemban tugas sebagai “penyapu ranjau.” Dia menjadi palang pintu pertama saat berhadapan dengan pasien yang terindikasi Covid-19. Tempatnya pun bukan di ruangan ber-AC tapi di bawah tenda yang didirikan di depan rumah sakit.
Sejak awal bertugas, Ifa sudah merasa tidak nyaman dengan APD (Alat Perlindungan Diri) yang dikenakannya. Tidak ada APD standar WHO yang disiapkan oleh manajemen rumah sakit. Harga APD terlampau mahal sehingga diganti dengan APD seadanya: jas hujan, sepatu buat ke pasar serta face shield bikinan sendiri dari plastik mika bakal jilid paper.
Jika ditanya takut, tentu Ifa sangat takut tertular. Apalagi dengan APD yang di luar standar. Tapi nalurinya memaksa dia untuk tetap menunaikan tugas kemanusiaan itu tanpa perlu menawar.
Ifa juga memiliki dua orang anak. Dia tidak ingin pulang ke rumah membawa virus corona. Dia ingin kedua buah hatinya tetap sehat dan tidak terpapar virus corona, sekalipun dirinya sangat rentan terinfeksi Covid-19.
Oleh karena itu, Ifa bercerita, ada seorang teman sejawatnya yang diminta oleh suaminya untuk tidak pulang sementara selama menangani pasien Covid-19. Alasannya supaya tidak membawa virus ke rumah karena bisa menular kepada anak-anaknya. Dia pun rela kost di samping rumah sakit tempatnya bekerja, tentu dengan memendam kerinduan yang sangat besar untuk bisa pulang ke rumah.
Ada lagi cerita teman perawat Ifa yang setiap hari naik angkot Jak-Lingko untuk pulang-pergi dari rumah ke rumah sakit tempat kerjanya di Kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Baru saja naik angkot, seorang ibu paruh baya langsung tanya:
“Neng kerja di rumah sakit?” tanya si ibu itu kepada teman sejawat Ifa yang kebetulan berseragam kerja dengan nama rumah sakit di dada kirinya.
“Iya bu,” ujar si perawat.
“Wah bahaya, turun neng!” hardik si ibu tadi.
Terjadi perdebatan keras, tapi karena penumpang lain juga merasa lebih aman jika si perawat turun, maka sopir pun ikut-ikutan.
“Udah turun aja neng,” kata si sopir.
Tak ada pilihan, sang perawat rekan sejawat Ifa pun turun dari angkot dengan muka muram.
Sungguh, perlakuan yang diterima para perawat saat ini benar-benar menyebalkan bagi Ifa dan teman-temannya. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Sejatinya dia ingin tetap bertugas merawat pasien Covid-19 sebagaimana tugas kemanusiaan yang melekat pada profesinya, tetapi dia berharap mendapatkan perlakuan yang sama dengan profesi lainnya.
Maka itu, berita penolakan jenazah perawat yang meninggal akibat terpapar corona dari pasiennya, benar-benar memukul mental paramedis yang sampai kini masih berjuang merawat dan menyembuhkan para pasien Covid-19. Duh, tugas kemanusiaan yang dibalas dengan perlakuan yang tidak manusiawi!***
*Renungan saat stay at home di sebuah rumah di GDC, April 2020