1 November 2019

HAJI DAN PENYUCIAN DIRI

Oleh: Mohammad Hasyim*
http://www.mbi-gdc.or.id/index.php/artikel/menu-edit/233-haji-dan-penyucian-diri-75
SYISHA, Makkah Almukarramah, 8 Dzulhijah 1439 Hijriyah. Jutaan manusia mulai bergerak meninggalkan Kota Makkah menuju Padang Arafah. Antrian bis mengular hingga beberapa kilometer membawa rombongan jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Inilah puncak ibadah haji, atau yang sering disebutkan sebagai masa krusial ibadah haji. Puncak ibadah haji yang dimulai dengan wukuf di Arafah, menjadi awal dari ibadah badaniah yang memang memerlukan stamina yang prima di tengah padatnya lautan manusia, ketatnya jadwal ibadah dan tentunya juga di tengah cuaca panas yang sangat menyengat.

Penulis, yang kebetulan ikut menunaikan ibadah haji tahun 2018 ini, merasakan betul betapa ibadah haji membutuhkan persiapan fisik yang sempurna, mulai wukuf di Arafah, lanjut ke Mudzalifah dan mabit di Mina untuk melempar 3 jumroh, hingga towaf ifadah dan sa’i di Baitullah.
Jamaah haji tahun ini, yang mengawali wukuf dengan dikejutkan datangnya angin topan atau badai pasir, merasakan ibadah wukuf dengan rasa was-was. Akibat angin topan itu, banyak jamaah yang mengurungkan berangkat ke Arafah pada Minggu malam 8 Dzulhijah dan memilih berangkat Senin subuh 9 Dzulhijah (kebetulan Idul Adha 10 Dzulhijah di Arab Saudi jatuh pada hari Selasa).
Selepas berniat haji/miqat, jamaah haji memulai wukuf di Arafah. Berada di dalam tenda—sebagian bahkan berada di luar tenda—di tengah terik matahari yang sangat menyengat, sudah tentu akan menguras ketahanan fisik maupun mental saat bermunajat, bertasbih, bermuhasabah maupun mendawamkan al-qur’an sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Dan pakaian yang digunakan para jamaah haji pun hanya kain ihram. Tidak ada yang lain. Semua sama. Semua jamaah haji hanya mengenakan kain ihram warna putih sebanyak dua lembar.
Namun demikian, wukuf di tengah padang gersang yang sering digambarkan sebagai miniatur Padang Mahsyar ini justru memberikan pengalaman spiritual tersendiri bahwa manusia sesunggiuhnya adalah hamba yang tidak berdaya dan tidak berarti apa-apa. Tidak berdaya sebab sehebat apapun manusia jika sudah berada di Padang Mahsyar hanyalah makhluk lemah yang sangat membutuhkan pertolongan dan perlindungan. Tidak ada artinya lagi pangkat, jabatan, kedudukan atau harta yang melimpah-ruah.
Yang bisa menyelamatkan kita adalah amal perbuatan, keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Jika kita memiliki amal perbuatan yang baik dan melebihi apa yang menjadi keburukan kita, tentu kita masih bisa berharap bahwa Allah akan memberikan pertolongan dan perlindungan kepada kita dari azab di akhirat. Tapi jika sebaliknya, naudzubillah!
Itulah sekelumit kisah yang senantiasa menghantui benak penulis. Bahkan kadang terbersit ketakutan bagaimana rasanya jika matahari bersinar hanya beberapa jengkal dari ubun-ubun manusia sedangkan sebegitu jauhnya saja panasnya sangat menyengat. Subhanallah..
Tidak hanya wukuf, prosesi haji yang menguras stamina lainnya adalah mabit di Mina, disertai dengan melempar  3 jumroh (ula, wustho dan aqobah), yang dilakukan dengan cara berjalan kaki ke jamarat sepanjang beberapa kilometer.
Belum lagi kita harus melakukan towaf ifadah dengan  mengelilingi Baitullah selama 7 putaran, yang dilakukan di tengah lautan jamaah sehingga banyak yang tidak mendapatkan tempat dan memilih towaf di lantai dua atau lantai tiga, yang tentunya memiliki jarak tempuh yang lebih jauh dan juga waktu tempuh yang lebih lama.
Bahkan setelah towaf ifadah jamaah haji masih harus berlanjut dengan melakukan sa’i atau berlari-lari kecil dari bukit Shofa ke Marah dan sebaliknya selama 7 kali. Ini semua tentunya membutuhkan kesiapan fisik yang sempurna dan paripurna.
Meskipun begitu, kita semua juga menyaksikan bahwa seluruh prosesi perjalanan ibadah haji ini tetap dapat ditunaikan oleh para jamaah haji dengan penuh kepatuhan, keikhlasan dan ketulusan disertai harapan agar ibadah mereka diterima oleh Allah SWT dan dijadikan haji yang mabrur/mabruroh.
Bagaimanapun ibadah haji merupakan momentum untuk menyucikan diri, membasuh dosa-dosa yang pernah kita perbuat disertai permohonan ampunan agar Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa kita dan menggolongkannya kepada golongan orang-orang yang beriman dan bertaqwa, amiin yra.***
*Penulis adalah Sekretaris II DKM Baitul Izzah yang juga jamah haji Indonesia Tahun 1439 H/2018 M

x

Tidak ada komentar: