Oleh: Mohammad Hasyim*
http://www.mbi-gdc.or.id/index.php/artikel/menu-edit/233-haji-dan-penyucian-diri-75
SYISHA, Makkah Almukarramah, 8 Dzulhijah 1439 Hijriyah. Jutaan
manusia mulai bergerak meninggalkan Kota Makkah menuju Padang Arafah. Antrian
bis mengular hingga beberapa kilometer membawa rombongan jamaah haji yang
datang dari berbagai penjuru dunia.
Inilah puncak ibadah
haji, atau yang sering disebutkan sebagai masa krusial ibadah haji. Puncak
ibadah haji yang dimulai dengan wukuf di Arafah, menjadi awal dari ibadah
badaniah yang memang memerlukan stamina yang prima di tengah padatnya lautan
manusia, ketatnya jadwal ibadah dan tentunya juga di tengah cuaca panas yang
sangat menyengat.
Penulis, yang kebetulan ikut menunaikan ibadah haji tahun
2018 ini, merasakan betul betapa ibadah haji membutuhkan persiapan fisik yang
sempurna, mulai wukuf di Arafah, lanjut ke Mudzalifah dan mabit di Mina untuk
melempar 3 jumroh, hingga towaf ifadah dan sa’i di Baitullah.
Jamaah haji tahun
ini, yang mengawali wukuf dengan dikejutkan datangnya angin topan atau badai
pasir, merasakan ibadah wukuf dengan rasa was-was. Akibat angin topan itu,
banyak jamaah yang mengurungkan berangkat ke Arafah pada Minggu malam 8 Dzulhijah
dan memilih berangkat Senin subuh 9 Dzulhijah (kebetulan Idul Adha 10 Dzulhijah
di Arab Saudi jatuh pada hari Selasa).
Selepas berniat haji/miqat, jamaah haji memulai wukuf di
Arafah. Berada di dalam tenda—sebagian bahkan berada di luar tenda—di tengah terik
matahari yang sangat menyengat, sudah tentu akan menguras ketahanan fisik
maupun mental saat bermunajat, bertasbih, bermuhasabah maupun mendawamkan
al-qur’an sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Dan pakaian yang digunakan
para jamaah haji pun hanya kain ihram. Tidak ada yang lain. Semua sama. Semua
jamaah haji hanya mengenakan kain ihram warna putih sebanyak dua lembar.
Namun demikian, wukuf
di tengah padang gersang yang sering digambarkan sebagai miniatur Padang Mahsyar
ini justru memberikan pengalaman spiritual tersendiri bahwa manusia sesunggiuhnya
adalah hamba yang tidak berdaya dan tidak berarti apa-apa. Tidak berdaya sebab
sehebat apapun manusia jika sudah berada di Padang Mahsyar hanyalah makhluk lemah
yang sangat membutuhkan pertolongan dan perlindungan. Tidak ada artinya lagi pangkat,
jabatan, kedudukan atau harta yang melimpah-ruah.
Yang bisa
menyelamatkan kita adalah amal perbuatan, keimanan dan ketaqwaan kita kepada
Allah SWT. Jika kita memiliki amal perbuatan yang baik dan melebihi apa yang
menjadi keburukan kita, tentu kita masih bisa berharap bahwa Allah akan
memberikan pertolongan dan perlindungan kepada kita dari azab di akhirat. Tapi
jika sebaliknya, naudzubillah!
Itulah sekelumit kisah yang senantiasa
menghantui benak penulis. Bahkan
kadang terbersit ketakutan bagaimana rasanya jika matahari bersinar hanya
beberapa jengkal dari ubun-ubun manusia sedangkan sebegitu jauhnya saja
panasnya sangat menyengat. Subhanallah..
Tidak hanya wukuf,
prosesi haji yang menguras stamina lainnya adalah mabit di Mina, disertai
dengan melempar 3 jumroh (ula, wustho
dan aqobah), yang dilakukan dengan cara berjalan kaki ke jamarat sepanjang
beberapa kilometer.
Belum lagi kita harus
melakukan towaf ifadah dengan mengelilingi
Baitullah selama 7 putaran, yang dilakukan di tengah lautan jamaah sehingga
banyak yang tidak mendapatkan tempat dan memilih towaf di lantai dua atau
lantai tiga, yang tentunya memiliki jarak tempuh yang lebih jauh dan juga waktu
tempuh yang lebih lama.
Bahkan setelah towaf
ifadah jamaah haji masih harus berlanjut dengan melakukan sa’i atau
berlari-lari kecil dari bukit Shofa ke Marah dan sebaliknya selama 7 kali. Ini
semua tentunya membutuhkan kesiapan fisik yang sempurna dan paripurna.
Meskipun begitu, kita
semua juga menyaksikan bahwa seluruh prosesi perjalanan ibadah haji ini tetap dapat
ditunaikan oleh para jamaah haji dengan penuh kepatuhan, keikhlasan dan
ketulusan disertai harapan agar ibadah mereka diterima oleh Allah SWT dan
dijadikan haji yang mabrur/mabruroh.
Bagaimanapun ibadah haji merupakan momentum untuk
menyucikan diri, membasuh dosa-dosa yang pernah kita perbuat disertai
permohonan ampunan agar Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa kita dan menggolongkannya
kepada golongan orang-orang yang beriman dan bertaqwa, amiin yra.***
*Penulis adalah Sekretaris II DKM Baitul Izzah yang juga jamah haji
Indonesia Tahun 1439 H/2018 M
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar