Jokowi Bisa Ajak Kader
Gerindra Gabung di Kabinet
Usianya sudah sangat senior, tapi
ingatan dan analisanya tetap tajam. Berbicara soal dunia politik mutakhir
selama lebih dari satu jam, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar ini
memberikan analisa kritis terhadap hasil Pemilu 2019 berikut tantangan bagi
Presiden terpilih Joko Widodo untuk lima tahun ke depan.
Theo L Sambuaga
adalah nama yang tidak asing di jagat perpolitikan Indonesia. Lahir di Manado,
Sulut, 6 Juni 1949 (70 tahun), mantan Menteri Tenaga Kerja pada Kabinet
Pembangunan VII, 1998 (Kabinet Presiden Soeharto yang terakhir) serta Menteri
Perumahan dan Permukiman (1998-1999) era Presiden Habibie ini sudah terjun di
dunia pergerakan sejak sekolah menengah atas di Manado, lanjut ke Jakarta sebagai
pimpinan Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Indonesia termasuk seabrek
organisasi kepemudaaan lainnya seperti GMNI, KNPI dan AMPI, hingga akhirnya
berlabuh di Partai Golkar.
Dengan pengalaman berorganisasi yang
sangat panjang, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar ini dapat memotret situasi
politik mutakhir dari perspektif yang utuh. Kata dia, untuk melanjutkan proses
pembangunan perlu dukungan dan kerjasama berbagai komponen bangsa. Oleh sebab
itu dia menyarahkan Presiden dan Wapres terpilih Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin untuk
mengajak semua kekuatan bangsa dalam pembangunan, termasuk dengan menyertakan
partai-partai yang bersebrangan seperti Gerindra.
Bagi Theo, adalah wajar ketika
partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) mulai
berdiskusi untuk mengisi peran dalam pemerintahan karena mereka sudah berjuang
bersama dalam memenangkan Jokowi-Ma’ruf pada Pemilu 17 April 2019. “Dan sebagai
partai politik maka wajar pula jika Golkar mendapatkan kekuasaan karena sudah
berjuang bersama memenangkan Jokowi-Ma’ruf,” katanya ketika berbincang santai
di sebuah gedung di bilangan Senayan, awal Agustus lalu.
Menurut mantan Ketua Komisi I DPR RI
ini, partai politik dibentuk dan didirikan untuk mendapatkan kekuasaan. Jadi
wajar jika Partai Golkar akhirnya mendapatkan kekuasaan dalam Pemerintahan.
Terpenting kekuasaan itu digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
dan bukan untuk kepentingan partainya saja.
Ditanya berapa angka kursi di kabinet
yang wajar diberikan kepada Golkar? Theo menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden
terpilih Jokowi. Alasannya, Jokowi yang lebih memahami seberapa besar proporsi kebutuhan
menteri yang diperlukan dari Golkar. Lebih dari itu, Jokowi pula yang memahami
seberapa banyak kader Golkar yang dia anggap dapat bekerja sama dengannya.
Bukan hanya itu, Theo juga memandang
perlu menggandeng kekuatan-kekuatan politik yang berada di luar KIK atau mereka
yang tergabung dalam Koalisi Adi Makmur (KAM) alias skuad pendukung Prabowo
Sandi. Demi kebersamaan membangun bangsa, dia menilai perlu Jokowi
mengikutsertakan kader dari KAM untuk bergabung dalam kabinet.
“Saya rasa tidak ada masalah kalau
kita menampung partai yang tidak mendukung pak Jokowi,” ujarnya. Artinya, ulas
dia, kalau ada pendekatan dari Gerindra misalnya, Jokowi layak memberi porsi,
juga kepada partai-partai non-koalisi lainnya yang mau mendukung Pemerintahan
Jokowi-Ma’ruf Amin. “Prinsipnya terbuka. Dengan memberi porsi kepada Gerindra
katakanlah, maka Pemerintah Jokowo-Ma’ruf akan semakin kuat,” katanya.
Namun demikian, Theo juga
mengingatkan bahwa keterlibatan kader dari KAM dalam Pemerintahan tidak berarti
fungsi pengawasan atau checks and balances yang seharusnya dilakukan oleh
Gerindra dkk menjadi terbengkalai. “Kalau menurut saya, sekalipun kadernya di
Pemerintahan tetapi fungsi pengawasan atau checks and balances tetap harus
dilakukan. Toh kader Gerindra yang ada dalam kebinet pun nantinya tetap menjadi
anak buah Presiden,” ujar mantan Ketua Fraksi Golkar DPR RI ini.
Dia lantas menunjuk, di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat pun, tidak berarti partai-partai terpisah dalam
membangun Pemerintahan. Misalnya saat ini Donald Trump dari Republik memimpin
pemerintahan, tetapi dia tetap menyertakan satu-dua menteri dari kader
Demokrat. Begitu juga sebaliknya kalau Presidennya berasal dari Partai
Demokrat. “Partainya tetap menjalankan fungsi pengawasan di Kongres AS, padahal
kadernya ada dalam pemerintahan,” ujar lulusan John Hopkins University Amerika
ini.
Munas Golkar
Ditanya soal kapan sepatutnya Partai
Gokar mengadakan Munas alias Musyawarah Nasiona? Theo dengan keyakinan penuh
menyebut tanggal 19 Desember 2019. “Itu sudah sesuai dengan hasil Munaslub di
Jakarta tahun 2017, yang memberikan mandat kepada Ketua Umum Airlangga Hartarto
untuk menyelenggarakan Munas pada akhir 2019,” ujarnya.
Saat ditanya siapa kader yang paling
layak memimpin partai berlambang pohon beringin ini, tanpa ragu Theo
merekomendasikan nama Airlangga Hartarto. “Kalau saya cenderung ke Airlangga,”
katanya sembari menambahkan, “Tetapi tentu tetap terbuka kesempatan bagi kader
terbaik Golkar lainnya seperti Bambang Soesatyo, Azis Syamsuddin, Ridwan Hisyam,
Ulla Rachmawati dll. Biarlah mereka berkompetisi secara demokratis.”
Menjawab pertanyaan apa alasan
mendukung Airlangga, Theo menyebut keberhasilan Airlangga dalam
mengkonsolidasikan Golkar dalam waktu hanya setahun lebih di tengah turbulensi
politik menyusul perpecahan pengurus dan diseretnya sejumlah petinggi Golkar
oleh KPK. “Menurut saya Airlangga berhasil mengkondolisasikan partai di tengah
permasalahan yang begitu berat,” ujarnya.
Dia lantas mencontohkan, sebelum
Pemilu 17 April 2019 sejumlah survey atau jajak pendapat bahkan yang dilakukan
oleh Koran mainstream sekalipun telah menempatkan Golkar hanya di angka
perolehan suara 6-7 persen. Namun kenyataannya kepemimpinan Airlangga bisa
menjungkirbalikkan prediksi-prediksi itu dengan memberikan angka perolehan
suara Golkar mencapai 12 persen dan duduk di peringkat 2 perolehan kursi di DPR
RI.
Disinggung soa siapa calon Ketua MPR
RI dari Gokar, Theo tidak menyebut nama secara spesifik tetapi mengungkap
nama-nama kader terbaik yang selama ini acap disebut dan dianggap layak
memimpin lembaga pengawal Empat Pilar Kebangsaan itu. “Ya saya mendengar nama-nama yang beredar
seperti Bambang Soesatyo, Azis Syamsuddin, dan bahkan Sekjen (Golkar) juga
sudah disebut-sebut,” katanya.
Menanggapi soal kedekatannya dengan Presiden Jokowi, mantan Ketua BKSP DPR RI ini menyebut kedekatannya bukan di Pemerintahan. Dia justru mengaku lebih dekat dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Alm. Taufik Kiemas dan pimpinan PDIP lainnya. "Karena kami sama-sama berasal dari GMNI dan saya sampai sekarang masih menjadi Ketua Dewan Pakar Alumni GMNI. Tapi karena saya Golkar, kami tetap memelihara hubungan yang saling menghormati," demikian Theo Sambuaga. (Hasyim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar