8 Agustus 2019

Profil

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Theo L Sambuaga:
Jokowi Bisa Ajak Kader Gerindra Gabung di Kabinet
Usianya sudah sangat senior, tapi ingatan dan analisanya tetap tajam. Berbicara soal dunia politik mutakhir selama lebih dari satu jam, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar ini memberikan analisa kritis terhadap hasil Pemilu 2019 berikut tantangan bagi Presiden terpilih Joko Widodo untuk lima tahun ke depan.
Theo L Sambuaga adalah nama yang tidak asing di jagat perpolitikan Indonesia. Lahir di Manado, Sulut, 6 Juni 1949 (70 tahun), mantan Menteri Tenaga Kerja pada Kabinet Pembangunan VII, 1998 (Kabinet Presiden Soeharto yang terakhir) serta Menteri Perumahan dan Permukiman (1998-1999) era Presiden Habibie ini sudah terjun di dunia pergerakan sejak sekolah menengah atas di Manado, lanjut ke Jakarta sebagai pimpinan Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Indonesia termasuk seabrek organisasi kepemudaaan lainnya seperti GMNI, KNPI dan AMPI, hingga akhirnya berlabuh di Partai Golkar.

Dengan pengalaman berorganisasi yang sangat panjang, Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar ini dapat memotret situasi politik mutakhir dari perspektif yang utuh. Kata dia, untuk melanjutkan proses pembangunan perlu dukungan dan kerjasama berbagai komponen bangsa. Oleh sebab itu dia menyarahkan Presiden dan Wapres terpilih Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin untuk mengajak semua kekuatan bangsa dalam pembangunan, termasuk dengan menyertakan partai-partai yang bersebrangan seperti Gerindra.
Bagi Theo, adalah wajar ketika partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) mulai berdiskusi untuk mengisi peran dalam pemerintahan karena mereka sudah berjuang bersama dalam memenangkan Jokowi-Ma’ruf pada Pemilu 17 April 2019. “Dan sebagai partai politik maka wajar pula jika Golkar mendapatkan kekuasaan karena sudah berjuang bersama memenangkan Jokowi-Ma’ruf,” katanya ketika berbincang santai di sebuah gedung di bilangan Senayan, awal Agustus lalu.
Menurut mantan Ketua Komisi I DPR RI ini, partai politik dibentuk dan didirikan untuk mendapatkan kekuasaan. Jadi wajar jika Partai Golkar akhirnya mendapatkan kekuasaan dalam Pemerintahan. Terpenting kekuasaan itu digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan bukan untuk kepentingan partainya saja.
Ditanya berapa angka kursi di kabinet yang wajar diberikan kepada Golkar? Theo menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden terpilih Jokowi. Alasannya, Jokowi yang lebih memahami seberapa besar proporsi kebutuhan menteri yang diperlukan dari Golkar. Lebih dari itu, Jokowi pula yang memahami seberapa banyak kader Golkar yang dia anggap dapat bekerja sama dengannya.
Bukan hanya itu, Theo juga memandang perlu menggandeng kekuatan-kekuatan politik yang berada di luar KIK atau mereka yang tergabung dalam Koalisi Adi Makmur (KAM) alias skuad pendukung Prabowo Sandi. Demi kebersamaan membangun bangsa, dia menilai perlu Jokowi mengikutsertakan kader dari KAM untuk bergabung dalam kabinet.
“Saya rasa tidak ada masalah kalau kita menampung partai yang tidak mendukung pak Jokowi,” ujarnya. Artinya, ulas dia, kalau ada pendekatan dari Gerindra misalnya, Jokowi layak memberi porsi, juga kepada partai-partai non-koalisi lainnya yang mau mendukung Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. “Prinsipnya terbuka. Dengan memberi porsi kepada Gerindra katakanlah, maka Pemerintah Jokowo-Ma’ruf akan semakin kuat,” katanya.
Namun demikian, Theo juga mengingatkan bahwa keterlibatan kader dari KAM dalam Pemerintahan tidak berarti fungsi pengawasan atau checks and balances yang seharusnya dilakukan oleh Gerindra dkk menjadi terbengkalai. “Kalau menurut saya, sekalipun kadernya di Pemerintahan tetapi fungsi pengawasan atau checks and balances tetap harus dilakukan. Toh kader Gerindra yang ada dalam kebinet pun nantinya tetap menjadi anak buah Presiden,” ujar mantan Ketua Fraksi Golkar DPR RI ini.
Dia lantas menunjuk, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat pun, tidak berarti partai-partai terpisah dalam membangun Pemerintahan. Misalnya saat ini Donald Trump dari Republik memimpin pemerintahan, tetapi dia tetap menyertakan satu-dua menteri dari kader Demokrat. Begitu juga sebaliknya kalau Presidennya berasal dari Partai Demokrat. “Partainya tetap menjalankan fungsi pengawasan di Kongres AS, padahal kadernya ada dalam pemerintahan,” ujar lulusan John Hopkins University Amerika ini.
Munas Golkar
Ditanya soal kapan sepatutnya Partai Gokar mengadakan Munas alias Musyawarah Nasiona? Theo dengan keyakinan penuh menyebut tanggal 19 Desember 2019. “Itu sudah sesuai dengan hasil Munaslub di Jakarta tahun 2017, yang memberikan mandat kepada Ketua Umum Airlangga Hartarto untuk menyelenggarakan Munas pada akhir 2019,” ujarnya.
Saat ditanya siapa kader yang paling layak memimpin partai berlambang pohon beringin ini, tanpa ragu Theo merekomendasikan nama Airlangga Hartarto. “Kalau saya cenderung ke Airlangga,” katanya sembari menambahkan, “Tetapi tentu tetap terbuka kesempatan bagi kader terbaik Golkar lainnya seperti Bambang Soesatyo, Azis Syamsuddin, Ridwan Hisyam, Ulla Rachmawati dll. Biarlah mereka berkompetisi secara demokratis.”
Menjawab pertanyaan apa alasan mendukung Airlangga, Theo menyebut keberhasilan Airlangga dalam mengkonsolidasikan Golkar dalam waktu hanya setahun lebih di tengah turbulensi politik menyusul perpecahan pengurus dan diseretnya sejumlah petinggi Golkar oleh KPK. “Menurut saya Airlangga berhasil mengkondolisasikan partai di tengah permasalahan yang begitu berat,” ujarnya.
Dia lantas mencontohkan, sebelum Pemilu 17 April 2019 sejumlah survey atau jajak pendapat bahkan yang dilakukan oleh Koran mainstream sekalipun telah menempatkan Golkar hanya di angka perolehan suara 6-7 persen. Namun kenyataannya kepemimpinan Airlangga bisa menjungkirbalikkan prediksi-prediksi itu dengan memberikan angka perolehan suara Golkar mencapai 12 persen dan duduk di peringkat 2 perolehan kursi di DPR RI.
Disinggung soa siapa calon Ketua MPR RI dari Gokar, Theo tidak menyebut nama secara spesifik tetapi mengungkap nama-nama kader terbaik yang selama ini acap disebut dan dianggap layak memimpin lembaga pengawal Empat Pilar Kebangsaan itu.  “Ya saya mendengar nama-nama yang beredar seperti Bambang Soesatyo, Azis Syamsuddin, dan bahkan Sekjen (Golkar) juga sudah disebut-sebut,” katanya.
Menanggapi soal kedekatannya dengan Presiden Jokowi, mantan Ketua BKSP DPR RI ini menyebut kedekatannya bukan di Pemerintahan. Dia  justru mengaku lebih dekat dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Alm. Taufik Kiemas dan pimpinan PDIP lainnya. "Karena kami sama-sama berasal dari GMNI dan saya sampai sekarang masih menjadi Ketua Dewan Pakar Alumni GMNI. Tapi karena saya Golkar, kami tetap memelihara hubungan yang saling menghormati," demikian Theo Sambuaga. (Hasyim)

Tidak ada komentar: