Quo
Vadis Partai Golkar
Oleh: Mohammad Hasyim
Andai ada yang bertanya sampai
kapan kirsruh di Partai Golkar akan berakhir, jawabannya boleh jadi sampai
Aburizal Bakrie (ARB) atau Agung Laksono (AL) mau berkompromi dan bersatu
membawa partai berlambang pohon beringin ini mengikuti kompetisi pemilihan
kepala daerah (pilkada) serentak yang digelar Desember 2015.
Kenapa? Karena bukan rahasia umum lagi
bahwa konflik yang memanas jelang akhir tahun 2014 ini dipicu oleh niat
keduanya untuk merebut kursi ketua umum Partai Golkar. Dalam hal ini, ARB
dengan segala kekurangannya selama pelaksanaan Pileg dan Pilres 2014, memilih
untuk mempertahankan tampuk kekuasaanya di pucuk pimpinan partai beringin.
Sebaliknya, AL yang merasa akan membawa Golkar menjadi semakin lebih baik, juga
mengambil jalan sendiri dengan tidak mengakui Munas Bali—yang mengaklamasikan
ARB sebagai ketua umum lagi—dan memilih menggelar Munas Jakarta dengan memilih
dirinya sebagai ketua umum.
Pertarungan dua figur elite Golkar ini
sejatinya bisa diselesaikan lebih mudah andai ARB dan AL mau mengedepankan
jalan kompromi ketimbang berebut kantor atau mendahulukan proses peradilan.
Aksi perebutan kantor DPP ataupun fraksi, kecuali mencoreng citra Golkar
sebagai partai tua yang tidak dewasa, juga malah memperluas konflik hingga ke
akar rumput. Sama halnya dengan proses peradilan, selain membutuhkan proses
yang panjang, juga belum tentu efektif untuk menyelesaikan konflik karena tidak
ada jaminan bahwa pihak yang dikalahkan dapat menerima hasilnya, sekalipun
sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Golkar sebagai partai besar nan sarat pengalaman,
memiliki rekam jejak yang panjang dalam menangani konflik. Jika pada era Orde
Baru setiap konflik yang muncul dapat diselesaikan dengan tafsir penguasa, maka
pasca reformasi semua konflik yang melanda Golkar dikelola secara terbuka dan
elegan, dengan mengedepankan kedaulatan partai, konstituen dan tentunya rakyat
Indonesia.
Partai Golkar pasca reformasi dituding
sebagai musuh bersama sehingga pimpinan, kader dan simpatisan kader ini acap
dilempari dan dikejar-kejar oleh mereka yang mengaku reformis. Tapi hasil
Pemilu 1999 menunjukkan bahwa Golkar masih mendapat kepercayaan 22,44 persen
atau setara dengan 23juta suara. Itu berarti, pimpinan dan segenap kader serta
simpatisan Golkar mampu mengatasi kebencian yang dialamatkan kepada mereka dengan
membuktikan bahwa puluhan juta rakyat masih memberikan kepercayaan kepada
Golkar.
Tak beda saat Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) mengeluarkan dekrit yang membekukan Golkar pada 23 Juli 2001 silam,
ternyata partai berkelir kuning ini juga mampu menghadapi badai pembekuan tersebut.
Golkar tetap berkibar dan justru Gus Dur yang terjungkal. Bahkan ketika ketua
umum Golkar waktu itu Akbar Tandjung tersandung kasus Bulog, yang memaksa
dirinya meringkuk di balik tahanan Kejaksaan Agung sebagai tersangka, partai
ini juga tetap eksis dan bahkan pada Pemilu Legislatif 2004 menjadi juara satu.
Apa rahasianya? Dari pengalaman panjang
yang dimiliki Golkar, terbukti bahwa partai ini mampu mengelola konflik secara
terbuka tanpa kehilangan muka. Ide konvensi pemilihan capres Golkar menjelang
Pemilu 2004, bukan semata-mata untuk memilih calon presiden secara demokratis
tetapi lebih untuk menyelamatkan Golkar dari perpecahan. Bagaimanapun
faksionalisme di Golkar waktu itu sangat tajam pasca Akbar ditetapkan sebagai
tersangka.
Ide brilian semacam konvensi tidak hanya
penting bagi proses pembangunan demokrasi sebagai pembelajaran politik
bagaimana mengelola konflik secara terbuka namun tetap bermakna, melainkan juga
berhasil menyelamatkan Golkar dari perpecahan. Jika tidak ada konvensi sulit
untuk melihat Golkar dapat memenangi Pemilu 2004 dan bertahan sampai sekarang.
Oleh sebab itu, ketika faksioalisme
Golkar kembali mengerucut pada dua kubu, baik itu kubu ARB maupun AL, sudah
sepatutnya ada gagasan cemerlang lagi dari elite Golkar untuk menyatukan
kembali perpecahan di antara dua kubu. Kunci penyelesaiannya ada di tangan
elite Golkar sendiri untuk berdamai, bukan di tangan Menkumham Yasona Laoly,
hakim PTUN apalagi Istana.***
*Mohammad
Hasyim, M.Si adalah magister ilmu politik dari Universitas Nasional Jakarta,
bekerja sebagai tenaga ahli anggota DPR/MPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar