28 Oktober 2014

Artikelku


MPR Jadi Asesoris Parlemen

Setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, praktis kedudukan lembaga yang dipimpin Taufiq Kiemas ini sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. MPR bukan lagi lembaga tertinggi yang bisa mengevaluasi atau meminta progress report lembaga-lembaga tinggi negara, tetapi sejajar dengan lembaga presiden, DPR, DPD, MA, BPK dan lembaga tinggi negara lainnya.
Dengan struktur kelembagaan yang sejajar dengan lembaga tinggi negara dan secara operasional beranggotakan wakil rakyat dari DPR dan DPD, maka keberadaan MPR lebih menyerupai asesoris parlemen. MPR sebagai lembaga merupakan gabungan dari DPR dan DPD, tetapi DPR dan DPD juga memiliki mekanisme sidang gabungan seperti yang dipraktikkan saat mendengar pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2010 lalu.

            MPR, seperti diamanatkan dalam Amandemen UUD 1945, memiliki kewenangan antara lain mengubah dan menetapkan UUD, memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya, memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
            Nah, karena fungsi dan kewenangan itu tidak dijalankan setidaknya dalam satu tahun terakhir ini, maka tugas MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) Huruf d UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah melaksanakan sosialisasi Amandemen UUD 1945 dan memasyarakatkan putusan-putusan MPR.
            Ketua MPR Taufiq Kiemas mengakui bahwa MPR harus meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya, mengembangkan mekanisme checks and balances serta meningkatkan kualitas kinerja sebanyak 678 anggota MPR.
            Dia juga mengatakan bahwa pimpinan MPR telah menyiapkan berbagai rencana program dan kegiatan yang disusun agar nilai-nilai luhur bangsa dapat dipahami dan dilaksanakan seluruh masyarakat Indonesia. Dikemukakannya bahwa untuk lebih memberikan pemahaman dan wawasan tentang kebangsaan, selain UUD, MPR juga memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila, bentuk negara kesatuan RI dan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika.
            "Sosialisasi terhadap empat pilar negara tersebut sangat penting karena saat ini banyak masyarakat yang merasa asing pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya," kata Taufiq. Akibatnya banyak nilai-nilai etika sebagaimana terdapat pada empat warisan luhur bangsa itu yang saat ini terpinggirkan. Ditegaskannya bahwa empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia itu bisa menjadi panduan yang efektif dan nyata apabila semua pihak dan segenap elemen bangsa konsisten mengamalkannya.
            "Empat pilar hendaknya juga menjadi panduan dalam mengamalkan etika kehidupan berbangsa sebagaimana diamanatkan oleh Tap MPR No VI/MPR/2001, yakni dalam berpolitik, menjalankan pemerintahan, penegakkan hukum, mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan, dan berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya," ujarnya.
            Di luar masalah kinerja, kepemimpinan Taufiq Kiemas di MPR sempat menjadi bahan kritikan lantaran salah ucap alias blepotan dalam membacakan teks pidato pelantikan SBY-Boediono, 20 Oktober 2009 lalu.
            Pada saat membacakan pidatonya, Taufiq Kiemas sering kali salah mengucapkan dalam membaca naskah pidatonya. Bahkan terbalik dalam menyebutkan antara nama dan gelar SBY, menjadi “Bapak Haji, Doktor Susilo Yudhoyono” yang seharusnya “Bapak  Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono”. Terkadang dia juga menyebut Doktor menjadi dokter, termasuk menyebutkan Mr. menjadi mester untuk istilah kehormatan tamu negara luar.
            Keganjilan dalam penyampaian pidatonya juga terlihat ketika Taufiq hampir luput menyebutkan nama mantan wakil presiden Jusuf Kalla pada saat mengawali pembacaan pidatonya. Hal ini sempat ditanggapi oleh mantan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid sebagai sesuatu yang tidak boleh terulang lagi ke depannya.
            "Saya dengar dari teman-teman Sekretariat Jenderal (Setjen) sudah diberikan (naskah pidato), sudah dilatih tapi bagaimana yang terjadi hasilnya rekan-rekan sudah lihat tadi kan," ujarnya.
            Bahkan dia berharap dengan bertambahnya jumlah pimpinan MPR saat ini menjadi lima orang, seharusnya kinerja MPR akan lebih baik ke depannya. "Dibanding periode saya (jumlah pimpinan MPR hanya empat orang) seharusnya bisa lebih kuat hasil yang dikerjakan oleh MPR," serunya.
            Sementara itu tanggapan yang berbeda disampaikan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas Urabaningrum. Menurutnya, kesalahan pengucapan yang disampaikan Taufiq lebih dikarenakan adanya kesan khusus yang diberikan Taufiq agar ada rasa sedikit santai. "Ada kesempatan untuk senyum dan ketawa kecil, jadi menyegarkan," tuturnya.
            Secara terpisah, tanggapan yang berbeda juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Beberapa kesalahan yang dilakukan Taufiq dipandang sebagai manusiawi karena sudah memasuki  usia senja. "Jadi kalau ada kalimat-kalimat yang terselip biasa itu, yang paling penting kan sudah dilantik," katanya.
            Tanggapan juga datang dari anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Ganjar Pranowo. Menurutnya, beberapa kesalahan yang dilakukan Taufiq dalam menyampaikan pidatonya lebih dikarenakan faktor grogi karena baru saat itu memimpin acara pelantikan presiden sebagai Ketua MPR. "Sebenarnya apakah grogi itu bisa diantisipasi, sebenarnya bisa kan," jelasnya.
BK MPR
            Di tempat terpisah, mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai perlu pembentukan Badan Kehormatan (BK) MPR untuk menopang kinerja anggotanya. Dia menilai pembentukan BK MPR ini merupakan salah satu ketentuan dalam Tata Tertib MPR yang harus dilaksanakan.
            BK MPR, dijelaskan Nur Wahid, akan mirip atau berdekatan dengan BK yang ada di di DPR maupun DPD. Apalagi anggota DPR maupun DPD juga merupakan anggota MPR, sehingga akan muncul anggapan kalau sudah ada BK DPR dan DPD, tidak perlu lagi ada BK MPR.
            ''Itu logika yang kerap disampaikan. Padahal, fungsi masing-masing BK tidak akan saling duplikasi atau bersinggungan,'' ujarnya. Pembentukan BK MPR, lanjut dia, tetap penting karena merupakan salah satu alat kelengkapan yang sudah tertera dalam Tata Tertib MPR untuk dilaksanakan. ''Kita pun juga punya tugas dan kegiatan yang spesifik sebagai anggota MPR yang tidak dilakukan anggota DPR atau DPD, seperti sosialisasi UUD.''
            Saat ini, susunan pimpinan maupun anggota BK MPR belum terbentuk. Namun, dia menyatakan, berdasarkan Tatib MPR Pasal 40 Huruf i, proses dan mekanisme pembentukan BK MPR tidaklah sederhana. Dia masih harus melakukan pembahasan mendalam sehingga pada satu sisi BK dapat dihadirkan dan di sisi lain tidak menimbulkan salah paham di tengah masyarakat.
            Secara pribadi Nur Wahid menilai anggota MPR Periode 2009-2014 ini akan lebih baik dan lebih unggul dibanding kinerja MPR saat ini. Alasan dia, anggota DPR dan DPD saat ini mayoritas masih muda dan enerjik.
“Anggota MPR saat ini yang terdiri dari DPR dan DPD mayoritas masih berusia muda yakni kurang dari 50 tahun, berpendidikan sarjana sampai doktor, dan penuh vitalitas," katanya.
            Tentang pelaksanaan konstitusi, Nur Wahid berpendapat bahwa berbagai kendala dalam penyelenggaraan ketatanegaraan bukan semata-mata disebabkan ketidaksempurnaan UUD, melainkan lebih karena belum dilaksanakannya konstitusi secara konsisten dan konsekuen.
            "Hingga saat ini masih banyak masyarakat, termasuk para pengambil keputusan di negara ini, belum memahami dengan baik dan benar UUD 1945," ujarnya. Padahal, kata dia, kualitas kehidupan bernegara sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengamalan penyelenggara negara dan warga masyarakat atas konstitusinya.
            Untuk merealisasikan pelaksanaan UUD 1945, ujarnya, jelas membutuhkan pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai UUD 1945 tersebut. Pemahaman yang utuh terhadap konstitusi, kata dia, juga dimaksudkan agar UUD 1945 sebagai aturan dasar yang mengkaidahi prilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak hanya dipahami teks-nya saja tetapi juga dalam tataran konteks-nya.
            Dengan demkian, secara utuh bangsa Indonesia bisa memahami latar belakang, proses maupun suasana batin pada saat norma-norma yang tercantum dalam UUD 1945 itu ditetapkan.
            "Pemahaman yang utuh terhadap konstitusi tersebut juga dimaksudkan agar UUD 1945 tidak ditafsirkan secara sempit dan berbeda-beda agar dalam implementasinya pun tidak berbeda-beda pula," ujarnya.
            Menurut Nur Wahid, apabila penafsiran terhadap konstitusi berbeda-beda dan demikian pula dengan implementasinya, maka UUD 1945 hanya akan menjadi cita-cita luhur belaka tanpa pelaksanaan yang sebagaimana mestinya. (Hasyim)

Tidak ada komentar: