MPR Jadi Asesoris
Parlemen
Setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi
negara, praktis kedudukan lembaga yang dipimpin Taufiq Kiemas ini sejajar
dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. MPR bukan lagi lembaga tertinggi
yang bisa mengevaluasi atau meminta progress report lembaga-lembaga tinggi
negara, tetapi sejajar dengan lembaga presiden, DPR, DPD, MA, BPK dan lembaga
tinggi negara lainnya.
Dengan struktur kelembagaan yang sejajar dengan lembaga tinggi negara dan
secara operasional beranggotakan wakil rakyat dari DPR dan DPD, maka keberadaan
MPR lebih menyerupai asesoris parlemen. MPR sebagai lembaga merupakan gabungan
dari DPR dan DPD, tetapi DPR dan DPD juga memiliki mekanisme sidang gabungan
seperti yang dipraktikkan saat mendengar pidato kenegaraan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2010 lalu.
MPR, seperti diamanatkan dalam
Amandemen UUD 1945, memiliki kewenangan antara lain mengubah dan menetapkan
UUD, memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya, memilih
Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden serta memilih
Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya.
Nah, karena fungsi dan kewenangan itu
tidak dijalankan setidaknya dalam satu tahun terakhir ini, maka tugas MPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) Huruf d UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan
dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah melaksanakan sosialisasi Amandemen
UUD 1945 dan memasyarakatkan putusan-putusan MPR.
Ketua MPR Taufiq Kiemas mengakui
bahwa MPR harus meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam rangka
melaksanakan tugas dan wewenangnya, mengembangkan mekanisme checks and balances
serta meningkatkan kualitas kinerja sebanyak 678 anggota MPR.
Dia juga mengatakan bahwa pimpinan
MPR telah menyiapkan berbagai rencana program dan kegiatan yang disusun agar
nilai-nilai luhur bangsa dapat dipahami dan dilaksanakan seluruh masyarakat
Indonesia. Dikemukakannya bahwa untuk lebih memberikan pemahaman dan wawasan
tentang kebangsaan, selain UUD, MPR juga memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila,
bentuk negara kesatuan RI dan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika.
"Sosialisasi terhadap empat
pilar negara tersebut sangat penting karena saat ini banyak masyarakat yang
merasa asing pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya," kata Taufiq. Akibatnya
banyak nilai-nilai etika sebagaimana terdapat pada empat warisan luhur bangsa
itu yang saat ini terpinggirkan. Ditegaskannya bahwa empat pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia itu bisa menjadi panduan yang efektif dan
nyata apabila semua pihak dan segenap elemen bangsa konsisten mengamalkannya.
"Empat pilar hendaknya juga
menjadi panduan dalam mengamalkan etika kehidupan berbangsa sebagaimana
diamanatkan oleh Tap MPR No VI/MPR/2001, yakni dalam berpolitik, menjalankan
pemerintahan, penegakkan hukum, mengatur perekonomian negara, interaksi sosial
kemasyarakatan, dan berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara
lainnya," ujarnya.
Di luar masalah kinerja,
kepemimpinan Taufiq Kiemas di MPR sempat menjadi bahan kritikan lantaran salah
ucap alias blepotan dalam membacakan teks pidato pelantikan SBY-Boediono, 20
Oktober 2009 lalu.
Pada saat membacakan pidatonya,
Taufiq Kiemas sering kali salah mengucapkan dalam membaca naskah pidatonya.
Bahkan terbalik dalam menyebutkan antara nama dan gelar SBY, menjadi “Bapak
Haji, Doktor Susilo Yudhoyono” yang seharusnya “Bapak Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono”. Terkadang
dia juga menyebut Doktor menjadi dokter, termasuk menyebutkan Mr. menjadi
mester untuk istilah kehormatan tamu negara luar.
Keganjilan dalam penyampaian
pidatonya juga terlihat ketika Taufiq hampir luput menyebutkan nama mantan
wakil presiden Jusuf Kalla pada saat mengawali pembacaan pidatonya. Hal ini sempat
ditanggapi oleh mantan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid sebagai sesuatu yang tidak
boleh terulang lagi ke depannya.
"Saya dengar dari teman-teman
Sekretariat Jenderal (Setjen) sudah diberikan (naskah pidato), sudah dilatih tapi
bagaimana yang terjadi hasilnya rekan-rekan sudah lihat tadi kan," ujarnya.
Bahkan dia berharap dengan
bertambahnya jumlah pimpinan MPR saat ini menjadi lima orang, seharusnya
kinerja MPR akan lebih baik ke depannya. "Dibanding periode saya (jumlah
pimpinan MPR hanya empat orang) seharusnya bisa lebih kuat hasil yang
dikerjakan oleh MPR," serunya.
Sementara itu tanggapan yang berbeda
disampaikan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas Urabaningrum. Menurutnya,
kesalahan pengucapan yang disampaikan Taufiq lebih dikarenakan adanya kesan
khusus yang diberikan Taufiq agar ada rasa sedikit santai. "Ada kesempatan
untuk senyum dan ketawa kecil, jadi menyegarkan," tuturnya.
Secara terpisah, tanggapan yang
berbeda juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Muzani.
Beberapa kesalahan yang dilakukan Taufiq dipandang sebagai manusiawi karena sudah
memasuki usia senja. "Jadi kalau
ada kalimat-kalimat yang terselip biasa itu, yang paling penting kan sudah
dilantik," katanya.
Tanggapan juga datang dari anggota
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Ganjar Pranowo.
Menurutnya, beberapa kesalahan yang dilakukan Taufiq dalam menyampaikan
pidatonya lebih dikarenakan faktor grogi karena baru saat itu memimpin acara
pelantikan presiden sebagai Ketua MPR. "Sebenarnya apakah grogi itu bisa
diantisipasi, sebenarnya bisa kan," jelasnya.
BK MPR
Di tempat terpisah, mantan Ketua MPR
Hidayat Nur Wahid menilai perlu pembentukan Badan Kehormatan (BK) MPR untuk
menopang kinerja anggotanya. Dia menilai pembentukan BK MPR ini merupakan salah
satu ketentuan dalam Tata Tertib MPR yang harus dilaksanakan.
BK MPR, dijelaskan Nur Wahid, akan
mirip atau berdekatan dengan BK yang ada di di DPR maupun DPD. Apalagi anggota
DPR maupun DPD juga merupakan anggota MPR, sehingga akan muncul anggapan kalau
sudah ada BK DPR dan DPD, tidak perlu lagi ada BK MPR.
''Itu logika yang kerap disampaikan.
Padahal, fungsi masing-masing BK tidak akan saling duplikasi atau bersinggungan,''
ujarnya. Pembentukan BK MPR, lanjut dia, tetap penting karena merupakan salah
satu alat kelengkapan yang sudah tertera dalam Tata Tertib MPR untuk
dilaksanakan. ''Kita pun juga punya tugas dan kegiatan yang spesifik sebagai anggota
MPR yang tidak dilakukan anggota DPR atau DPD, seperti sosialisasi UUD.''
Saat ini, susunan pimpinan maupun
anggota BK MPR belum terbentuk. Namun, dia menyatakan, berdasarkan Tatib MPR Pasal
40 Huruf i, proses dan mekanisme pembentukan BK MPR tidaklah sederhana. Dia masih
harus melakukan pembahasan mendalam sehingga pada satu sisi BK dapat dihadirkan
dan di sisi lain tidak menimbulkan salah paham di tengah masyarakat.
Secara pribadi Nur Wahid menilai
anggota MPR Periode 2009-2014 ini akan lebih baik dan lebih unggul dibanding kinerja
MPR saat ini. Alasan dia, anggota DPR dan DPD saat ini mayoritas masih muda dan
enerjik.
“Anggota MPR saat ini yang terdiri dari DPR dan DPD mayoritas masih
berusia muda yakni kurang dari 50 tahun, berpendidikan sarjana sampai doktor,
dan penuh vitalitas," katanya.
Tentang pelaksanaan konstitusi, Nur
Wahid berpendapat bahwa berbagai kendala dalam penyelenggaraan ketatanegaraan
bukan semata-mata disebabkan ketidaksempurnaan UUD, melainkan lebih karena belum
dilaksanakannya konstitusi secara konsisten dan konsekuen.
"Hingga saat ini masih banyak
masyarakat, termasuk para pengambil keputusan di negara ini, belum memahami
dengan baik dan benar UUD 1945," ujarnya. Padahal, kata dia, kualitas
kehidupan bernegara sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengamalan
penyelenggara negara dan warga masyarakat atas konstitusinya.
Untuk merealisasikan pelaksanaan UUD
1945, ujarnya, jelas membutuhkan pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai
UUD 1945 tersebut. Pemahaman yang utuh terhadap konstitusi, kata dia, juga
dimaksudkan agar UUD 1945 sebagai aturan dasar yang mengkaidahi prilaku
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak hanya dipahami teks-nya
saja tetapi juga dalam tataran konteks-nya.
Dengan demkian, secara utuh bangsa
Indonesia bisa memahami latar belakang, proses maupun suasana batin pada saat
norma-norma yang tercantum dalam UUD 1945 itu ditetapkan.
"Pemahaman yang utuh terhadap
konstitusi tersebut juga dimaksudkan agar UUD 1945 tidak ditafsirkan secara
sempit dan berbeda-beda agar dalam implementasinya pun tidak berbeda-beda
pula," ujarnya.
Menurut Nur Wahid, apabila
penafsiran terhadap konstitusi berbeda-beda dan demikian pula dengan
implementasinya, maka UUD 1945 hanya akan menjadi cita-cita luhur belaka tanpa
pelaksanaan yang sebagaimana mestinya. (Hasyim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar